Saturday, January 14, 2017

Princess Hours Fan Fiction (Part 7)



Author: Chloe 
Characters: Lee Shin, Shin Chae-kyeong, Min Hyo-rin


Siang itu matahari tidak menampakkan wujudnya, sepenuhnya ditutupi awan yang semakin kelabu, berlalu tiap detik di angkasa. Walau perkiraan cuaca menyatakan hari tidak akan hujan, sepertinya tidak benar. Jelas hujan akan turun, dan akan membasahi setiap jalanan di kota yang besar ini, di hari yang sangat tidak menyenangkan dan sendu. Seakan hujan itu berupaya melengkapi setiap momen menyedihkan yang sedang terjadi, menuntun orang yang sakit untuk menangis, menuntun orang yang berduka untuk melepas, dan menertawakan orang yang sedang bahagia.

Rumah hook itu adalah rumah lama yang sudah ditinggali selama berpuluh tahun. Kondisinya memang tidak terlalu buruk, namun semua tetangga tahu jelas apa yang sering terjadi di dalamnya. Yang terjadi tentu jauh lebih buruk dari wujud rumahnya. Sudah berpuluh tahun setiap malam, nyonya keluarga Jung yang tinggal di depan rumah reot itu, mendengar bunyi-bunyi barang pecah yang diduganya piring atau gelas, terbanting belasan kali dalam semalam, diiringi suara gaduh dan teriakan pria. Dia tidak yakin siapa pria itu. Dia hanya tahu ada dua orang yang tinggal disana, yaitu nyonya Min dan putrinya yang cantik. Hal ini membuatnya curiga, apakah nyonya Min sering didatangi mantan suaminya? Atau itu suara kekasihnya yang menagih uang? Gosip ini kemudian menyebar ke seluruh rumah di kompleks, mengalir dari satu mulut ke mulut yang lain.

Keluarga itu tidak memiliki kerabat yang tinggal dekat, tidak banyak bersosialisasi, dan hanya terlihat sesekali. Betul-betul sepenuhnya tertutupi pagar rumah dan semak-semak yang tinggi. Apalagi setelah muncul kabar bahwa anak nyonya Min itu mengandung anak putra mahkota Lee Shin. Banyak media yang mengerubuni rumahnya, tidak luput tetangga-tetangga. Setiap hari ada saja wartawan yang menunggu di depan rumahnya, walau kian hari kian berkurang karena Hyo-rin tidak pernah menampakkan wujudnya.

Tiba-tiba terdengar suara gelas pecah.

“Apa katamuu?!” suara berat itu berasal dari laki-laki beruban yang baru saja menjatuhkan gelasnya. Mukanya merah padam, tubuhnya agak miring, terlihat jelas berupaya berdiri dengan tegap. “Wanita itu kabur dan kau tidak membangunkanku??!”

Dia seperti akan jatuh, tapi kakinya sekali lagi berhasil menyeimbangkan tubuhnya. Sekarang dia mengambil sebuah botol sake dari lantai dan hendak memukulkannya ke kepala wanita yang berdiri di hadapannya. Wanita itu tidak berhasil mengelak dengan baik. Botol itu mengenai pundaknya dan dia menjerit.

“Cepat katakan kemana dia pergi!” laki-laki itu menunggu untuk memukul lagi.

“Aku akan membayar hutang-hutang kami secepatnya, tolong jaga dirimu baik-baik.”

Gadis itu berlari mengambil sebuah tas di dalam kamarnya, kemudian buru-buru menuju pintu depan dan mengunci pintunya, meninggalkan laki-laki mabuk itu yang kemudian tak sadarkan diri. Tanpa mengecek keadaan pria itu dulu, gadis itu mengenakan maskernya dan berjalan pergi.[]


***

Umma sudah sampai?”

“Aku sedang menunggu di stasiun. Dimana kau?”

“Dalam perjalanan pulang.”
“Apa kau baik-baik saja? Maafkan aku, Hyo-rinie.”

“Tenang saja, semua akan baik-baik saja. Aku sudah hampir sampai. Kututup dulu teleponnya. Jaga dirimu, Umma.”

Seperti dugaan Hyo-rin, ada dua wartawan yang setia menunggu di depan pagar, kehujanan dan sepenuhnya basah kuyup. Mereka melihatnya dan sudah menyiapkan ponsel untuk merekam wawancara.

“Nona Min Hyo-rin, apakah Nona benar-benar akan memasuki istana?” kata wartawan pria berkaca-mata, bergetar hebat karena kedinginan.

Hyo-rin tidak mengubris pertanyaan-pertanyaan yang kemudian dilontarkan silih berganti. Dia tetap berjalan, membuka pintu pagar dan masuk ke dalam. Tak lama setelah meninggalkan wartawan-wartawan itu, dia kembali. Tapi membawa sebuah tas besar, seperti tas berpergian, dan sebuah payung. Dia mengunci pintu pagar dan berjalan pergi, berbelok di gang-gang hingga menemukan jalan raya, dan setelah itu memberhentikan taxi dan naik tanpa bicara.[]


***


“Apa aku engga boleh menginap?” tanya Chae-kyeong, duduk di depan televisi sambil memotong sayur.

“Bersyukur mereka mengijinkanmu keluar walau Shin tidak tahu. Dan sekarang kau mau mencoba menginap?” Ibu Chae-kyeong mendengus, mengaduk sopnya dengan cepat.

“Aku kan bisa coba telepon dia sekarang untuk minta ijin. Lagian dia engga bakal berani karena sedang bersalah.”

Ibu Chae-kyeong menutup pancinya dan ikut bergabung dengan Chae-kyeong dan Chae-Jun. “Kamu ini apa benar-benar tidak merasa bersalah? Kamu pergi saat dia khawatir dan bahkan belum bicara denganmu.”

“Pig ini memang bodoh, Umma. Dia tidak bisa berpikir dengan baik mana yang mungkin mana yang mustahil,” kata Chae-Jun dengan jail. Dia sedang membaca komik manhwa kesukaannya sambil berbaring di lantai.

Chae-kyeong berhenti memotong dan menghentakkan pisaunya dengan keras ke talenan. “Ya! Apa kau sudah mau mati? Apa maksudmu dengan mana yang mungkin dan mustahil??”

“Kami yang tidak tinggal dengan putra mahkota pun tahu dia tidak mungkin melakukannya. Aku tidak tahu apa perasaannya tinggal dengan wanita cemburuan sepertimu, Pig.”

“A-A-Apa katamu?!”

“Sudah, sudah. Cepat potong itu semua. Dan Chae-jun, lebih baik bantu Ibu, masih banyak yang harus dimasak.”

“Untuk apa Ibu masak banyak-banyak? Apa kalian memang sangat sayang padaku? Aku sangat terharu loh kalian menyambutku di rumah sampai seperti ini.”

“Enak saja untuk menyambutmu, Pig.”

Chae-kyeong berhenti memotong lagi. Dia berpikir dan tidak percaya. Dia membelalakan mata dan sekarang memelototi ibunya.

Wae?? Ibu tidak mungkin kan tidak memberitahunya kau ada disini.”

Chae-kyeong berdiri dan berlari ke dalam kamar. Dia langsung bersembunyi di dalam selimut. “APA YANG UMMA LAKUKAAN??! BAGAIMANA MUNGKIN KALIAN MEMBERITAHUNYA? INI SUNGGU MALAPETAKA!”[]


***


Hal itu benar-benar terjadi. Shin berdiri di depan pagar dengan kantong-kantong bingkisan. Sesuai arahannya, para pelayan langsung kembali ke mobil dan pergi setelah seseorang membukakan pagar untuknya. Orang itu adalah Chae-jun, yang tersenyum dengan hangat, sangat mengidolakan kakak iparnya itu. Dia membantu mengangkut beberapa kantong Shin.

“Wah, sudah lama sekali tidak bertemu denganmu, Hyung.”

“Senang bertemu denganmu lagi,” Shin membalas dengan senyum. “Apakah Chae-kyeong baik-baik saja seharian ini?”

“Dia bahkan tidak terlihat sakit sama sekali. Hanya saja.. setelah tahu Hyung mau datang, dia langsung mengurung diri di kamar. Dia tidak tahu kalau aku sudah memberitahumu soal pergi ke dokter sama Umma.”

“Oh, begitu. Mungkin dia benar-benar tidak ingin bertemu denganku, ya?”

“Sudahlah, Hyung, dia memang wanita seperti itu. Ayo masuk dulu. Ayah dan ibu sudah menunggu.”

Seperti kata Chae-jun, Ayah dan Ibunya menyambut Shin dengan sangat meriah. Mereka sudah menyiapkan makan malam yang sangat lengkap, ditata dengan rapi di atas meja makan pendek di depan televisi. Semuanya duduk mengelilingi meja, kecuali Chae-kyeong yang masih bergulung di dalam kamar.

“Chae-kyeong-aah, apa benar tidak mau makan?” teriak Ibu Chae-kyeong yang sedang mengambilkan nasi untuk masing-masing anggota keluarga.

“Tidak akan baik untuk bayinya,” sahut Ayah Chae-kyeong.

Shin merasa sangat bersalah dan mempertanyakan kenapa dia harus datang berkunjung. Tapi dia merasa bodoh kalau tidak menjemput Chae-kyeong, paling tidak dia harus menunjukkan perhatian pada Chae-kyeong dan keluarganya. Dengan kehadirannya pun, Chae-kyeong jadi tidak dimarahi karena keluar istana sembarangan. Pihak istana tidak akan mencurigai kaburnya Chae-kyeong dari istana. Sekarang pun, Shin merasa sangat terluka karena Chae-kyeong tidak mau bertemu dengannya. Dia sepenuhnya hilang harapan dan yakin Chae-kyeong tidak akan memihaknya lagi.

“Pig, kau akan membunuh bayimu kalau terus seperti itu.”

Kata-kata Chae-jun ini ternyata berhasil mengetuk hati Chae-kyeong. Dia bangkit walau masih dalam lilitan selimut.

“Apa yang bisa kuperbuat. Dia memang bukan ibu yang baik. Aku sangat khawatir dengan bayinya,” tambah ibu Chae-kyeong.

“Bisa-bisa tak ada bayi?” kata ayah Chae-kyeong, berkedip ke arah istrinya.

“Tentu bisa tak ada bayi. Dia kan sudah tidak makan selama sakit. Sembuh pun tidak mau makan.”

Tiba-tiba pintu kamar terbuka, dan Chae-kyeong yang acak-acakan keluar dari baliknya. Chae-kyeong menatap anggota keluarganya, dan kemudian menatap langsung Shin yang juga memandangnya. Dia tidak bicara, berjalan mendekati meja dan duduk di antara ibunya dan Chae-jun, memaksa adiknya itu bergeser mendekati Shin.

“Kupikir kau masih mau melanjutkan drama wanita yang tertindas, Pig.”

“Jaga bicaramu!” kata Chae-kyeong dengan galak. Dia merasa adiknya itu sangat usil, tapi berbeda dari keusilannya yang dulu, kata-kata Chae-jun sekarang jauh lebih dewasa dan kadang terdengar ada benarnya.

Mereka memulai acara makan itu dengan penuh tawa, walau Chae-kyeong tidak sepenuhnya tertawa. Semua berbincang seperti keluarga. Shin tidak lagi merasa canggung dengan keluarga itu. Keluarga itu seperti tempatnya terhibur dan sepenuhnya dapat melepas beban di pundaknya. Berada beberapa menit dengan keluarga ini sudah membuatnya sangat senang, tersirat dari matanya, dan Chae-kyeong memperhatikan matanya. Mereka tertawa seperti tidak ada masalah yang sedang menimpa mereka. Hanya seperti keluarga normal yang akan bertambah anggota.

“Dokter bilang kondisi kandungan Chae-kyeong sangat baik, walau dia habis sakit beberapa hari. Sepertinya dia makan sangat baik ketika sadar dan tidur untuk berhibernasi.”

Kata-kata Ibu Chae-kyeong membuat semua anggota pria di keluarga itu tertawa. Shin terlihat sangat bersemangat dan bahagia mendengar kabar itu.

“Apa sudah bisa tahu laki-laki atau perempuan?” tanya Chae-jun dengan semangat, melahap nasi di piringnya sampai habis.

“Tidak, baru sekitar tiga bulan. Sepertinya dokter tidak berani memberi tebakan karena akan sangat berpengaruh dalam silsilah kerajaan.”

“Hyung ingin laki-laki atau perempuan?” tanya Chae-jun dengan lebih semangat lagi.

Ayah Chae-kyung berdeham, memperingatkan Chae-jun bahwa pertanyaan itu sangat tidak sopan, mengingat anggota kerajaan tentu menginginkan putra yang bisa melanjutkan keturunan.
“Saat ini aku belum memikirkannya. Tapi yang manapun aku tidak akan kecewa.”

Chae-kyeong mengerutkan dahinya. Dasar Shin bodoh, kau bilang padaku ingin laki-laki. Batin Chae-kyeong.

“Kalau Pig sih pasti mau perempuan, asal jangan sama seperti kepalanya.”

Shin tertawa. “Dia memang ingin perempuan.”

Pernyataan ini membuat Ayah dan Ibu Chae-kyeong terkejut. Sepertinya anak mereka itu sudah mengalami gangguan jiwa. Dia kan dituntut untuk melahirkan putra mahkota berikutnya.

Percakapan itu terus berlanjut hingga malam menjelang, hingga akhirnya Shin memutuskan untuk menginap. Semua anggota keluarga sudah masuk ke dalam kamarnya masing-masing, begitu juga Chae-kyeong dan Shin. Kamar mereka dipenuhi hawa tidak menyenangkan. Chae-kyeong tidak bicara semenjak mereka masuk ke dalam kamar.

Tidak tahan dengan suasana itu lebih lanjut, akhirnya Shin angkat bicara.

“Aku akan tidur di bawah.”

Dia mengambil salah satu bantal Chae-kyeong dan selimut dari dalam lemari. Dia masih ingat dengan baik kamar itu ketika terakhir kali menginap. Dia menggelar selimutnya di lantai, sementara Chae-kyeong masih berdiri terpaku.

“Dokter bilang bayi ini sehat,” kata Chae-kyeong, membuat Shin mendongak ke arahnya. “Waktu dia bilang begitu, saat itu juga aku sadar ada kehidupan yang sedang aku bawa dan aku harus menjaganya.”

“Aku pasti akan menja—“

“Dan saat itu juga aku ingat padamu.” Chae-kyeong menunduk dan merengut. “Aku harap kau ada bersamaku seperti ayah normal lainnya. Tapi kupikir aku sekali lagi sudah berubah idiot.”

Shin tersenyum masam.

“Jangan membebani dirimu dengan kata-kataku barusan. Aku cuma mengikuti insting wanita mengandung.”

Shin tidak mampu bicara. Dia tidak tahu harus berkata apa. Dia tidak pandai dalam hal mengurus wanita mengandung bahkan juga tidak dalam mengurus wanita normal.

Chae-kyeong naik ke atas kasurnya, menyelimuti tubuhnya sampai ke dagu. Melihat itu Shin mematikan lampu dan juga bersiap tidur di atas selimutnya yang kusut. Beberapa menit berlalu dengan hening, walau keduanya sepenuhnya masih terjaga di atas alas tidurnya. Hingga akhirnya Chae-kyeong mengakhiri kecanggungan malam itu dengan berkata:

“Kau akan menjadi ayah, Shin.”



To be Continued...

********************************


Fluttershy - Working In Background