Chloe udah tulis beberapa artikel yang mungkin kalian suka. Ini Chloe kasih link nya ya :D Selamat membaca!
Monday, January 16, 2017
Jangan Lupa Baca Juga!
Jangan lupa singgah di blog kedua Chloe yaa! Chloe's Thoughts :D
Chloe udah tulis beberapa artikel yang mungkin kalian suka. Ini Chloe kasih link nya ya :D Selamat membaca!
Chloe udah tulis beberapa artikel yang mungkin kalian suka. Ini Chloe kasih link nya ya :D Selamat membaca!
Saturday, January 14, 2017
Princess Hours Fan Fiction (Part 7)
Author: Chloe ♥
Characters: Lee Shin, Shin Chae-kyeong, Min Hyo-rin
Siang itu
matahari tidak menampakkan wujudnya, sepenuhnya ditutupi awan yang semakin
kelabu, berlalu tiap detik di angkasa. Walau perkiraan cuaca menyatakan hari
tidak akan hujan, sepertinya tidak benar. Jelas hujan akan turun, dan akan
membasahi setiap jalanan di kota yang besar ini, di hari yang sangat tidak
menyenangkan dan sendu. Seakan hujan itu berupaya melengkapi setiap momen
menyedihkan yang sedang terjadi, menuntun orang yang sakit untuk menangis,
menuntun orang yang berduka untuk melepas, dan menertawakan orang yang sedang
bahagia.
Rumah hook itu
adalah rumah lama yang sudah ditinggali selama berpuluh tahun. Kondisinya
memang tidak terlalu buruk, namun semua tetangga tahu jelas apa yang sering
terjadi di dalamnya. Yang terjadi tentu jauh lebih buruk dari wujud rumahnya.
Sudah berpuluh tahun setiap malam, nyonya keluarga Jung yang tinggal di depan
rumah reot itu, mendengar bunyi-bunyi barang pecah yang diduganya piring atau
gelas, terbanting belasan kali dalam semalam, diiringi suara gaduh dan teriakan
pria. Dia tidak yakin siapa pria itu. Dia hanya tahu ada dua orang yang tinggal
disana, yaitu nyonya Min dan putrinya yang cantik. Hal ini membuatnya curiga,
apakah nyonya Min sering didatangi mantan suaminya? Atau itu suara kekasihnya
yang menagih uang? Gosip ini kemudian menyebar ke seluruh rumah di kompleks,
mengalir dari satu mulut ke mulut yang lain.
Keluarga itu
tidak memiliki kerabat yang tinggal dekat, tidak banyak bersosialisasi, dan
hanya terlihat sesekali. Betul-betul sepenuhnya tertutupi pagar rumah dan
semak-semak yang tinggi. Apalagi setelah muncul kabar bahwa anak nyonya Min itu
mengandung anak putra mahkota Lee Shin. Banyak media yang mengerubuni rumahnya,
tidak luput tetangga-tetangga. Setiap hari ada saja wartawan yang menunggu di
depan rumahnya, walau kian hari kian berkurang karena Hyo-rin tidak pernah
menampakkan wujudnya.
Tiba-tiba
terdengar suara gelas pecah.
“Apa katamuu?!”
suara berat itu berasal dari laki-laki beruban yang baru saja menjatuhkan
gelasnya. Mukanya merah padam, tubuhnya agak miring, terlihat jelas berupaya
berdiri dengan tegap. “Wanita itu kabur dan kau tidak membangunkanku??!”
Dia seperti
akan jatuh, tapi kakinya sekali lagi berhasil menyeimbangkan tubuhnya. Sekarang
dia mengambil sebuah botol sake dari lantai dan hendak memukulkannya ke kepala
wanita yang berdiri di hadapannya. Wanita itu tidak berhasil mengelak dengan
baik. Botol itu mengenai pundaknya dan dia menjerit.
“Cepat katakan
kemana dia pergi!” laki-laki itu menunggu untuk memukul lagi.
“Aku akan
membayar hutang-hutang kami secepatnya, tolong jaga dirimu baik-baik.”
Gadis itu
berlari mengambil sebuah tas di dalam kamarnya, kemudian buru-buru menuju pintu
depan dan mengunci pintunya, meninggalkan laki-laki mabuk itu yang kemudian tak
sadarkan diri. Tanpa mengecek keadaan pria itu dulu, gadis itu mengenakan
maskernya dan berjalan pergi.[]
***
“Umma sudah sampai?”
“Aku sedang
menunggu di stasiun. Dimana kau?”
“Dalam
perjalanan pulang.”
“Apa kau
baik-baik saja? Maafkan aku, Hyo-rinie.”
“Tenang saja,
semua akan baik-baik saja. Aku sudah hampir sampai. Kututup dulu teleponnya.
Jaga dirimu, Umma.”
Seperti dugaan
Hyo-rin, ada dua wartawan yang setia menunggu di depan pagar, kehujanan dan
sepenuhnya basah kuyup. Mereka melihatnya dan sudah menyiapkan ponsel untuk
merekam wawancara.
“Nona Min
Hyo-rin, apakah Nona benar-benar akan memasuki istana?” kata wartawan pria
berkaca-mata, bergetar hebat karena kedinginan.
Hyo-rin tidak
mengubris pertanyaan-pertanyaan yang kemudian dilontarkan silih berganti. Dia
tetap berjalan, membuka pintu pagar dan masuk ke dalam. Tak lama setelah
meninggalkan wartawan-wartawan itu, dia kembali. Tapi membawa sebuah tas besar,
seperti tas berpergian, dan sebuah payung. Dia mengunci pintu pagar dan
berjalan pergi, berbelok di gang-gang hingga menemukan jalan raya, dan setelah
itu memberhentikan taxi dan naik tanpa bicara.[]
***
“Apa aku engga
boleh menginap?” tanya Chae-kyeong, duduk di depan televisi sambil memotong
sayur.
“Bersyukur
mereka mengijinkanmu keluar walau Shin tidak tahu. Dan sekarang kau mau mencoba
menginap?” Ibu Chae-kyeong mendengus, mengaduk sopnya dengan cepat.
“Aku kan bisa
coba telepon dia sekarang untuk minta ijin. Lagian dia engga bakal berani
karena sedang bersalah.”
Ibu Chae-kyeong
menutup pancinya dan ikut bergabung dengan Chae-kyeong dan Chae-Jun. “Kamu ini
apa benar-benar tidak merasa bersalah? Kamu pergi saat dia khawatir dan bahkan
belum bicara denganmu.”
“Pig ini memang
bodoh, Umma. Dia tidak bisa berpikir
dengan baik mana yang mungkin mana yang mustahil,” kata Chae-Jun dengan jail.
Dia sedang membaca komik manhwa kesukaannya sambil berbaring di lantai.
Chae-kyeong
berhenti memotong dan menghentakkan pisaunya dengan keras ke talenan. “Ya! Apa
kau sudah mau mati? Apa maksudmu dengan mana yang mungkin dan mustahil??”
“Kami yang
tidak tinggal dengan putra mahkota pun tahu dia tidak mungkin melakukannya. Aku
tidak tahu apa perasaannya tinggal dengan wanita cemburuan sepertimu, Pig.”
“A-A-Apa
katamu?!”
“Sudah, sudah.
Cepat potong itu semua. Dan Chae-jun, lebih baik bantu Ibu, masih banyak yang
harus dimasak.”
“Untuk apa Ibu
masak banyak-banyak? Apa kalian memang sangat sayang padaku? Aku sangat terharu
loh kalian menyambutku di rumah sampai seperti ini.”
“Enak saja
untuk menyambutmu, Pig.”
Chae-kyeong
berhenti memotong lagi. Dia berpikir dan tidak percaya. Dia membelalakan mata
dan sekarang memelototi ibunya.
“Wae?? Ibu tidak mungkin kan tidak
memberitahunya kau ada disini.”
Chae-kyeong
berdiri dan berlari ke dalam kamar. Dia langsung bersembunyi di dalam selimut. “APA
YANG UMMA LAKUKAAN??! BAGAIMANA MUNGKIN KALIAN MEMBERITAHUNYA? INI SUNGGU
MALAPETAKA!”[]
***
Hal itu
benar-benar terjadi. Shin berdiri di depan pagar dengan kantong-kantong
bingkisan. Sesuai arahannya, para pelayan langsung kembali ke mobil dan pergi
setelah seseorang membukakan pagar untuknya. Orang itu adalah Chae-jun, yang
tersenyum dengan hangat, sangat mengidolakan kakak iparnya itu. Dia membantu
mengangkut beberapa kantong Shin.
“Wah, sudah
lama sekali tidak bertemu denganmu, Hyung.”
“Senang bertemu
denganmu lagi,” Shin membalas dengan senyum. “Apakah Chae-kyeong baik-baik saja
seharian ini?”
“Dia bahkan
tidak terlihat sakit sama sekali. Hanya saja.. setelah tahu Hyung mau datang, dia langsung mengurung
diri di kamar. Dia tidak tahu kalau aku sudah memberitahumu soal pergi ke
dokter sama Umma.”
“Oh, begitu.
Mungkin dia benar-benar tidak ingin bertemu denganku, ya?”
“Sudahlah, Hyung, dia memang wanita seperti itu.
Ayo masuk dulu. Ayah dan ibu sudah menunggu.”
Seperti kata
Chae-jun, Ayah dan Ibunya menyambut Shin dengan sangat meriah. Mereka sudah
menyiapkan makan malam yang sangat lengkap, ditata dengan rapi di atas meja
makan pendek di depan televisi. Semuanya duduk mengelilingi meja, kecuali
Chae-kyeong yang masih bergulung di dalam kamar.
“Chae-kyeong-aah,
apa benar tidak mau makan?” teriak Ibu Chae-kyeong yang sedang mengambilkan
nasi untuk masing-masing anggota keluarga.
“Tidak akan
baik untuk bayinya,” sahut Ayah Chae-kyeong.
Shin merasa
sangat bersalah dan mempertanyakan kenapa dia harus datang berkunjung. Tapi dia
merasa bodoh kalau tidak menjemput Chae-kyeong, paling tidak dia harus
menunjukkan perhatian pada Chae-kyeong dan keluarganya. Dengan kehadirannya
pun, Chae-kyeong jadi tidak dimarahi karena keluar istana sembarangan. Pihak
istana tidak akan mencurigai kaburnya Chae-kyeong dari istana. Sekarang pun,
Shin merasa sangat terluka karena Chae-kyeong tidak mau bertemu dengannya. Dia
sepenuhnya hilang harapan dan yakin Chae-kyeong tidak akan memihaknya lagi.
“Pig, kau akan
membunuh bayimu kalau terus seperti itu.”
Kata-kata
Chae-jun ini ternyata berhasil mengetuk hati Chae-kyeong. Dia bangkit walau
masih dalam lilitan selimut.
“Apa yang bisa
kuperbuat. Dia memang bukan ibu yang baik. Aku sangat khawatir dengan bayinya,”
tambah ibu Chae-kyeong.
“Bisa-bisa tak
ada bayi?” kata ayah Chae-kyeong, berkedip ke arah istrinya.
“Tentu bisa tak
ada bayi. Dia kan sudah tidak makan selama sakit. Sembuh pun tidak mau makan.”
Tiba-tiba pintu
kamar terbuka, dan Chae-kyeong yang acak-acakan keluar dari baliknya.
Chae-kyeong menatap anggota keluarganya, dan kemudian menatap langsung Shin
yang juga memandangnya. Dia tidak bicara, berjalan mendekati meja dan duduk di
antara ibunya dan Chae-jun, memaksa adiknya itu bergeser mendekati Shin.
“Kupikir kau masih
mau melanjutkan drama wanita yang tertindas, Pig.”
“Jaga bicaramu!”
kata Chae-kyeong dengan galak. Dia merasa adiknya itu sangat usil, tapi berbeda
dari keusilannya yang dulu, kata-kata Chae-jun sekarang jauh lebih dewasa dan
kadang terdengar ada benarnya.
Mereka memulai
acara makan itu dengan penuh tawa, walau Chae-kyeong tidak sepenuhnya tertawa.
Semua berbincang seperti keluarga. Shin tidak lagi merasa canggung dengan
keluarga itu. Keluarga itu seperti tempatnya terhibur dan sepenuhnya dapat
melepas beban di pundaknya. Berada beberapa menit dengan keluarga ini sudah
membuatnya sangat senang, tersirat dari matanya, dan Chae-kyeong memperhatikan
matanya. Mereka tertawa seperti tidak ada masalah yang sedang menimpa mereka.
Hanya seperti keluarga normal yang akan bertambah anggota.
“Dokter bilang
kondisi kandungan Chae-kyeong sangat baik, walau dia habis sakit beberapa hari.
Sepertinya dia makan sangat baik ketika sadar dan tidur untuk berhibernasi.”
Kata-kata Ibu
Chae-kyeong membuat semua anggota pria di keluarga itu tertawa. Shin terlihat
sangat bersemangat dan bahagia mendengar kabar itu.
“Apa sudah bisa
tahu laki-laki atau perempuan?” tanya Chae-jun dengan semangat, melahap nasi di
piringnya sampai habis.
“Tidak, baru
sekitar tiga bulan. Sepertinya dokter tidak berani memberi tebakan karena akan
sangat berpengaruh dalam silsilah kerajaan.”
“Hyung ingin
laki-laki atau perempuan?” tanya Chae-jun dengan lebih semangat lagi.
Ayah Chae-kyung
berdeham, memperingatkan Chae-jun bahwa pertanyaan itu sangat tidak sopan,
mengingat anggota kerajaan tentu menginginkan putra yang bisa melanjutkan
keturunan.
“Saat ini aku
belum memikirkannya. Tapi yang manapun aku tidak akan kecewa.”
Chae-kyeong
mengerutkan dahinya. Dasar Shin bodoh,
kau bilang padaku ingin laki-laki. Batin Chae-kyeong.
“Kalau Pig sih
pasti mau perempuan, asal jangan sama seperti kepalanya.”
Shin tertawa. “Dia
memang ingin perempuan.”
Pernyataan ini
membuat Ayah dan Ibu Chae-kyeong terkejut. Sepertinya anak mereka itu sudah
mengalami gangguan jiwa. Dia kan dituntut untuk melahirkan putra mahkota
berikutnya.
Percakapan itu
terus berlanjut hingga malam menjelang, hingga akhirnya Shin memutuskan untuk menginap.
Semua anggota keluarga sudah masuk ke dalam kamarnya masing-masing, begitu juga
Chae-kyeong dan Shin. Kamar mereka dipenuhi hawa tidak menyenangkan.
Chae-kyeong tidak bicara semenjak mereka masuk ke dalam kamar.
Tidak tahan
dengan suasana itu lebih lanjut, akhirnya Shin angkat bicara.
“Aku akan tidur
di bawah.”
Dia mengambil salah
satu bantal Chae-kyeong dan selimut dari dalam lemari. Dia masih ingat dengan baik
kamar itu ketika terakhir kali menginap. Dia menggelar selimutnya di lantai,
sementara Chae-kyeong masih berdiri terpaku.
“Dokter bilang
bayi ini sehat,” kata Chae-kyeong, membuat Shin mendongak ke arahnya. “Waktu
dia bilang begitu, saat itu juga aku sadar ada kehidupan yang sedang aku bawa
dan aku harus menjaganya.”
“Aku pasti akan
menja—“
“Dan saat itu
juga aku ingat padamu.” Chae-kyeong menunduk dan merengut. “Aku harap kau ada
bersamaku seperti ayah normal lainnya. Tapi kupikir aku sekali lagi sudah
berubah idiot.”
Shin tersenyum
masam.
“Jangan
membebani dirimu dengan kata-kataku barusan. Aku cuma mengikuti insting wanita
mengandung.”
Shin tidak
mampu bicara. Dia tidak tahu harus berkata apa. Dia tidak pandai dalam hal
mengurus wanita mengandung bahkan juga tidak dalam mengurus wanita normal.
Chae-kyeong
naik ke atas kasurnya, menyelimuti tubuhnya sampai ke dagu. Melihat itu Shin mematikan
lampu dan juga bersiap tidur di atas selimutnya yang kusut. Beberapa menit
berlalu dengan hening, walau keduanya sepenuhnya masih terjaga di atas alas tidurnya.
Hingga akhirnya Chae-kyeong mengakhiri kecanggungan malam itu dengan berkata:
“Kau akan
menjadi ayah, Shin.”
To be Continued...
********************************
Subscribe to:
Posts (Atom)