Writer: Chloe
Credit to Charly
True Dream
“Kau kenal aku?”
Pria itu
menampakkan wajah yang tenang. Diiringi dengan hembusan angin yang menyapu
wajahnya, raut mukanya mulai berubah. Matanya tidak seindah yang So Eun ingat,
dan hidungnya berubah menjadi sedikit lebih besar. Mulutnya tidak setipis yang
dia tahu. Wajah Kim Bum yang tersirat pada muka pria itu sekarang berubah
menjadi orang lain. Dia bukan Kim Bum. Apa yang So Eun lihat hanyalah sebuah
fatamorgana, dan hal itu membuatnya kecewa.
“Ma—maafkan aku.
Aku kira kau seseorang yang aku cari.”
Pria itu
memandang So Eun dengan bingung. “Yang kau cari itu pria Korea lainnya, ya?”
“Apakah kau
orang Korea?” tanya So Eun, kali ini dengan bahasa korea.
“Tentu saja! Memangnya
aku ini tidak kelihatan seperti orang Korea?”
“Bu—bukan
begitu,” So Eun membungkukkan badannya dengan kikuk. “Maaf, bisa saja kau
datang dari negara lain di Asia. Aku dengar banyak—“
“Sudahlah, aku
terlambat bertemu dengan client ku, dan sekarang kau menahanku disini.” Pria
itu mengecek jam tangannya dan berkata, “Aku harap kau menemukannya. Good luck!”
So Eun
mengepalkan sebelah tangannya ketika pria itu berjalan menjauhinya. Yaampun, kenapa aku bisa bertemu dengan pria
semacam itu di negara sebesar ini! Sombong sekali.
Hari itu tidak
berhenti disana. So Eun kembali ke rumahnya, sebuah apartemen kecil di pinggir
jalan raya, nyaman dan sedikit berdebu, tapi sangat murah. Setelah beasiswanya
habis dan dia tidak mendapatkan santunan dana hidup, So Eun harus pindah dari
asramanya ke tempat tinggal yang baru, kalau dia mau tetap tinggal di Amerika.
Masalahnya adalah uang yang dia miliki tidak akan pernah cukup kalau dia tidak
segera mencari pekerjaan. Sudah dua minggu ini tidak ada pekerjaan yang cocok
untuknya, dan menjadi seorang pelukis bukanlah hal yang mudah. Dia mulai
menjual lukisannya via online, karena tidak banyak harapan ada pameran yang
akan merekrutnya dan melelang lukisan-lukisannya. Sebagai orang asing, cukup
kecil kemungkinan untuk menjadi sangat terkenal.
So Eun tidak
bisa mengelak bahwa alasan utamanya tetap tinggal adalah untuk menemukan Kim
Bum yang telah hilang. Dia tahu kemungkinan itu sangatlah kecil, tapi kalau dia
hanya duduk dan menunggu, Kim Bum tidak akan kembali. Walaupun Kim Bum berada
di belahan negara yang lain, So Eun tidak boleh menyianyiakan kesempatan untuk
bertemu lagi dengannya.
So Eun membuka
pintu apartemennya, menaruh tas di gantungan dan segera merangkai bunga yang
dia bawa sejak tadi. Setiap hari selalu ada bunga baru untuk vas-vas bunganya.
Dia sudah punya lima vas yang selalu digantinya bergantian. Hari ini salah satu
bunga di vas itu sudah layu. Dia membuangnya dan mengganti dengan bunga yang
baru.
“Bunga ungu yang
harum dan segar,” katanya sambil merangkai bunga-bunga itu.
Tiba-tiba
ponselnya berdering. Dia menarik ponsel itu dari kantung celananya dan
menyelipkan di telinganya.
“Hallo?”
Seseorang
berdeham dari ujung sana. “Ms. Kim? Ini aku, Richard Monero yang tertarik
dengan lukisanmu. Apakah kau bisa datang sore ini?”
“Sore ini?” So
Eun berpikir sejenak. “Ya, aku akan membatalkan jadwal untuk Anda. Apakah
arsiteknya datang hari ini?”
“Ya, dia sudah
ada bersamaku sekarang. Kami sedang membicarakan perkembangan apartemenku, dan
sepertinya dia ingin bertemu denganmu terlebih dahulu karena aku bilang sebagian
besar ruang akan diisi lukisan Ms. Kim.”
“Baiklah, aku
akan tiba sekitar pukul lima kalau begitu?”
“Baiklah. Terima
kasih.”
***
So Eun sudah
tiba di depan apartemen tinggi yang sangat modern itu. Dia mengecek sekali lagi
alamat yang tertera pada sms Mr. Monero. Ternyata pria ini jauh lebih kaya dari
yang dia bayangkan. Apartemen ini jelas baru selesai dibangun dan punya banyak
sekali lantai. Lobby nya sangat modern dan luas. Ada pelayan yang membukakan
pintu untuk tamu. Sepertinya apartemen ini memang diciptakan untuk orang-orang
kaya saja. Sulit untuk menebak berapa harga yang harus dibayar untuk membeli
satu unit. Kalau dibandingkan apartemen So Eun, mungkin ini dua puluh kali
lipat lebih mahal.
So Eun menunggu
di lobby. Dia duduk di salah satu sofa beludru yang sangat hangat, sambil
membayangkan seperti apa wujud Mr. Monero yang sudah memesan begitu banyak
lukisannya di internet. Apakah dia pendek dan gempal? Mungkin sudah tiga puluh
kalau didengar dari suaranya. Apakah dia tampan dan berkumis tebal seperti yang
ada di kartun-kartun.
Tiba-tiba suara
pria yang dimaksud terdengar. “Ms. Kim?”
So Eun
berpaling, dan dia menemukan seorang pria yang masih sangat muda, berdiri
disana. Rambutnya coklat dan disisir menyamping, sangat rapi dan elegan.
Kulitnya sangat pucat, dengan mata abu-abu keperakan, hidung yang mancung dan
senyum yang sangat lebar. Dia terlihat masih berusia dua puluhan, dengan
pakaian setelan jas yang agak kasual.
So Eun menerima
jabatan tangan pria itu. “Senang sekali kau bisa hadir. Arsitekku menunggu di
atas. Kita bisa langsung ke atas?”
Ada perasaan
aneh yang menyelimuti So Eun, dan sepertinya Richard Monero menyadarinya.
“Te—tenang saja,
Ms. Kim. Aku tidak akan membohongimu.” Pria itu kelihatan bingung dan panik. “Gedung
ini milikku. Kau bisa bertanya pada setiap karyawan disini.”
Saat itu juga So
Eun tidak bisa menahan diri untuk tidak menganga. Oke, ini adalah kali pertama
So Eun bertemu dengan pria yang sangat kaya raya di Amerika. Pantas saja dia
mau membeli begitu banyak lukisannya dan berkata akan bernegosiasi tentang
harganya karena dia butuh bantuan sampai apartemennya selesai.
“Ja—jadi yang
Anda maksud dengan apartemen bukan hanya sebuah unit saja? Ta—tapi sebesar ini?”
tanya So Eun terbata-bata.
Monero tertawa
dengan sopan. “Ya, aku akan menggantung lukisan-lukisanmu di beberapa tempat.
Mungkin kita butuh bicara terlebih dahulu.” Pria itu duduk di salah satu sofa
tunggal yang juga dilapisi beludru merah.
“Ta—tapi kenapa
karyaku? Sepertinya tuan bisa membeli karya-karya mahal pelukis terkenal. Ada
banyak sekali pelukis hebat dari masa ke masa, bahkan ada begitu banyak karya
lain yang lebih mahal dan indah. Aku bukan pelukis sehebat itu, Sir.”
“Tunggu dulu,
tunggu dulu.” Monero menyuruh pelayannya menyuguhkan dua gelas teh panas di
hadapan mereka. Monero mengambil cangkirnya dan menyeruput tehnya. “Ada alasan
untuk itu.
“Aku memang
sedang mencari lukisan untuk mengisi dindingku yang masih kosong. Kalau kau
lihat lobby ini, mungkin lobby ini sudah selesai dibuat berkat arsitekku, tapi
banyak ruang yang kosong dan belum selesai.
“Suatu hari aku
menemukan salah satu karyamu dan aku terpana. Aku sangat menyukai Monet, dan
kau memberikan kesan Monet pada lukisan itu. Aku sangat menyukainya dan mulai
mencari sumbernya. Akhirnya aku menemukan website mu dan mulai mencari lebih
banyak lukisan. Apa kau tahu? Untuk apa membeli lukisan mahal jika ada tiruan
yang sama bagusnya tapi dengan harga yang cukup murah. Maaf aku tidak bermaksud
mengatakan lukisanmu murahan, tapi sangat untung dibanding mencari kesempatan
membeli lukisan mahal yang dijaga ketat oleh pemerintah.”
So Eun
memiringkan kepalanya dan berpikir. “Sepertinya aku memahami sudut pandang
Anda, dan terima kasih telah memujiku, tapi karyaku tidak mungkin disandingkan
dengan Monet.” Dia sekarang lebih rileks dan sudah mau mengambil cangkir lain
di meja kopi itu. “Lalu bisakah Anda menceritakan siapa Anda sebenarnya, Sir?
Aku merasa sangat bingung.”
“Aku? Aku hanya
seorang pemilik apartemen, itu saja. Richard Monero yang tidak terkenal.”
Sekarang
perasaan curiga sudah hilang dari wajah So Eun. Dia kelihatan agak senang. Jika
Monero sebenarnya orang yang sangat penting, mungkin dia punya banyak
informasi. Tapi apakah Monero sebegitu pentingnya sampai bisa mencari Kim Bum?
Ah, pikiran gila ini muncul lagi.
“Aku sangat
yakin kau akan jadi pelukis hebat, Ms. Kim. Entah kenapa aku merasakan ada aura
itu di dirimu.” Monero menaruh kembali cangkirnya ke atas meja. “Bisa kau
cerita tentang dirimu sebelum kita naik?”
“Aku Kim So Eun,
baru saja lulus. Aku bukan pelukis ternama disini, hanya dapat beasiswa untuk
kuliah. Aku memutuskan untuk tidak pulang ke Seoul dan sedang mencari
pekerjaan. Aku kaget saat Tuan menelepon dan bilang akan membeli karya-karyaku.
Yaa, saat ini pekerjaanku hanya menjual lukisan lewat internet. Aku tidak tahu
akan selaku ini.”
“Apa tidak ada
penelepon lain yang menawar lukisan itu selain aku?” tanya Monero dengan sangat
penasaran.
“Ya, sebenarnya
ada orang di hari yang sama menelepon untuk membeli dua dari semua yang kau
pilih. Dia menelepon terlebih dahulu. Tapi akhirnya kujual semuanya pada Tuan
karena Tuan membeli banyak sekali. Rasanya tidak lengkap kalau lukisan itu
terpisah satu sama lain.”
“Terpisah?”
“Pria itu mau
membeli lukisan anak perempuan dan anak laki-laki yang kugambar, tapi tidak mau
membeli panel lukisan ketiga.”
“Oh, aku tahu
yang kau maksud. Lukisan tiga panel itu?”
“Iya, aku beri
judul ‘Cherry, Mint and Violet’.”
“Hmm, baiklah.
Ayo kita segera ke atas.”
Monero memimpin
jalan. Dia masuk ke dalam lift lebih dulu, diikuti So Eun yang terbata-bata.
Ruangan yang mereka masuki terlihat seperti sebuah lorong panjang dengan
jendela-jendela kaca yang menggantikan dinding. Sepertinya ada beberapa
ballroom tersembunyi dibalik tirai-tirai sutra yang mengantung di balik kaca.
Mereka tidak memasuki ruangan-ruangan itu, tetapi tetap berjalan lurus
melewatinya dan berbelok ke kanan. Plafon semakin lama semakin meninggi,
terlihat ada undakan dan ornamen-ornamen melengkung terpasang disana. Mereka
memasuki sebuah pintu kayu besar dengan ornamen garis-garis lurus keemasan.
Sekarang plafon sudah digantikan dengan skylight, jendela atap kaca, dan
dinding-dinding marmer putih berulir kelabu menutupi setiap inci ruangan.
“Kau akan
mengisi ini dengan apa?” tanya So Eun dengan sangat penasaran.
“Awalnya ini
untuk fasilitas spa, tapi aku berubah pikiran melihat jendela atap kaca itu.” Monero
memegang dinding marmernya. “Ruangan ini cantik sekali. Aku akan menjadikannya
sebuah ruang pameran.”
Hati So Eun
sekali lagi ingin menjerit. Benarkah? Jadi karyaku akan ada disini dan
dinikmati oleh orang-orang? Sungguh? Apakah ini awal yang baru? Apakah benar
ini takdirku untuk tetap tinggal di Amerika?
“Aku akan menaruh
salah satu karyamu disini, tapi hanya yang ada unsur Koreanya saja. Sisanya
akan kupilih lokasinya nanti.”
“Terima kasih
banyak, Mr. Monero! Omoo, aku tidak bisa bernapas.” So Eun tersenyum sangat
lebar. Dia tidak bisa menahan diri lagi, dia harus melompat untuk merayakannya.
“Kau akan memajang ‘The Silent Dancer’
disini? Omoooo omoo, aku tidak menyangka akan seperti ini!”
Monero tertawa
melihat reaksi So Eun. “Aku tahu kau akan senang hati datang hari ini.”
So Eun tidak
bisa berhenti melompat dan tertawa. Dia sangat bahagia. Ini adalah karya
pertamanya yang akan dipajang. Walau ini bukan museum ternama, tapi ini sebuah
apartemen mewah dengan fasilitas lengkap, besar, mahal, dan pasti orang-orang
hebat akan datang untuk melihat-lihat.
Tiba-tiba sebuah
suara tak asing bicara dari belakang So Eun.
“Mr. Monero?”
So Eun berhenti.
Ekspresinya tiba-tiba berubah menjadi datar.
“Ah, ini dia
arsitek yang mau aku kenalkan padamu, Ms. Kim!” kata Monero dengan bersemangat.
So Eun berputar.
Dia berdiri diam disana. Tidak ada kata yang keluar darinya. Suasana menjadi
hening sejenak. So Eun mendapati bahwa dugaannya memang benar.
To be Continued..
*********
Terima kasih sudah selalu setia! Maaf bahasa Chloe memang beda banget sama Charly hehehe. Semoga kalian menikmati lanjutan singkat ini yaa <3 Tunggu kelanjutan ceritanya!