Author: Chloe ♥
“Sungguh? Istana bilang kita boleh
pergi?” Chae-kyeong tersenyum sangat lebar dan melompat-lompat kegirangan. Dia
melakukan tarian aneh yang sudah menjadi kebiasaannya ketika mendengar kabar
baik.
“Iya, tapi kita tidak bisa
menginap. Lagipula ini hari yang penting kan bagimu,” kata Shin, membetulkan
dasinya yang miring di depan cermin.
“Apa cuma kamu yang enggak merayakan
White Day?” tanya Chae-kyeong meledek. “Harusnya kan kamu udah nyiapin sesuatu
untukku dari jauh-jauh hari.”
Shin mengambil jas yang sudah disiapkan
dengan sangat rapi oleh pelayannya. Dia mengenakannya dengan cepat dan nampak
sangat formal. “Belakangan ini kondisinya sangat serius. Sulit untuk merencanakan
kesenangan pribadi.”
Chae-kyeong merasa agak kesal.
Belakangan ini memang kondisinya tidak berangsur baik. Chae-kyeong belum
mendengar keputusan istana yang berusaha ditutupi oleh Shin. Menurut Shin, dia
perlu waktu untuk memberitahu Chae-kyeong yang masih terlalu emosional, padahal
semua itu karena hatinya sendiri yang tidak siap.
“Tapi kan aku udah buat rencana
dan minta ijin pergi sendiri dari minggu lalu. Bahkan aku gak minta kamu ikut!”
kata Chae-kyeong, melemparkan dirinya ke atas salah satu sofa di kamar Shin. Dalam
hati Shin merasa kecewa, Chae-kyeong masih berusaha tidak mengikutsertakan Shin
dalam agendanya. Chae-kyeong menolak ikut ke pavillion Tae-Hoo Mama untuk
jamuan teh, kembali lebih dulu ke pavillion mereka setelah makan malam,
pura-pura tidur lebih cepat dengan lampu menyala, juga tidak lagi menanyakan
buku-buku yang tidak ia mengerti dari kelas-kelas yang baru diikuti.
“Istana tidak akan membiarkan
kamu pergi sendirian ke tempat umum yang banyak orang,” balas Shin,
mengancingkan jasnya, membetulkan tali sepatu, dan akhirnya siap untuk pergi. “Tapi
kamu harus tunggu aku pulang. Aku akan kembali di siang hari. Pertemuan pagi
ini cukup penting, aku tidak bisa membatalkannya.”
Chae-kyeong semakin kesal. “Jangan
buat aku kecewa, Shin. Kamu gak pernah tepat waktu. Kalau hari ini kamu gak
pulang, aku bakal pergi sendiri!”
Begitu lah yang terjadi.
Chae-kyeong sudah menunggu Shin dari pagi hingga siang, tidak melakukan apapun
kecuali membaca salah satu buku yang dijadikan PR untuk kelas tata krama putri
kerajaan. Dia sudah pindah dari kamarnya, ke kamar Shin, ke ruang tengah, ke
teras, kembali ke kamarnya lagi. Sesekali dia mengirim pesan kepada Shin,
hampir semuanya diakhiri dengan emoji marah dan nyala api.
“Shin payah,” umpatnya geram.
Para dayang membawakan makan
siang ke pavillion Putra dan Putri Mahkota seperti yang diperintahkan Chae-kyeong.
Makan siangnya seperti biasa terlihat sangat cantik dan mewah, tapi kali ini
Chae-kyeong menyadari pilihan menunya dibuat khusus. Ada beberapa menu yang
pernah disebut-sebut ingin ia cicipi.
“Yang Mulia Putra Mahkota akan
sedikit terlambat, mama. Mama diminta untuk makan lebih dulu,”
kata pelayan Choi.
“Apa dia yang minta menu-menu
ini? Ah—tidak mungkin. Pasti kalian yang bantu dia karena aku sering
sebut-sebut ke kalian, kan? Sungguh, Shin bodoh.”
“Maaf, Mama. Saya tidak
tahu mengenai hal itu, tapi Yang Mulia Putra Mahkota menitipkan pesan maaf
karena harus membuat Pi Koon Mama menunggu.”
Walau Chae-kyeong kecewa, dia
tetap menyantap makanannya dengan gembira. Sudah lama dia ingin menyicipi Côte
de bœuf dan Profiteroles yang namanya bahkan tidak bisa dia sebut dengan benar.
Dia mendengar menu-menu itu dari internet.
“Dia bahkan tidak membalas pesanku.
Buat apa repot menitipkan pesan ke orang lain,” gerutu Chae-kyeong, masih
dengan lahap menyantap makanannya. “Oke aku udah selesai menuhin syarat makan formal,
sekarang ayo kalian harus coba juga!” (Chae-kyeong punya perjanjian dengan
pelayan Choi, dia punya dua sesi makan. Sesi pertama harus mengikuti cara makan
formal untuk latihan tata krama, sesi kedua dia bebas makan sesuka yang dia mau).
Chae-kyeong menarik pelayan-pelayannya
untuk duduk bersamanya. Dia menyuapi mereka bergantian dan tertawa mendengar
reaksi mereka satu-persatu. Itu lah mengapa Chae-kyeong lebih suka makan di
pavillion. Makan di ruang makan istana terasa sangat sepi, apalagi anggota
keluarga kerajaan sangat sibuk. Biasanya hanya ada Tae-Hoo Mama, itu pun kalau dia
sedang tidak lelah atau moodnya sedang baik.
“Apa Mama sudah tahu akan
pergi kemana hari ini?” tanya pelayan Lee yang paling muda di antara empat. Dia
memang yang paling bisa diajak Chae-kyeong bercanda dan usil.
Chae-kyeong menggeleng pelan. “Aku
bahkan enggak tanya Shin saking senangnya bisa pergi keluar.”
Chae-kyeong bahkan tidak sempat
berpikir mereka akan kemana. Apakah Shin akan mengajaknya ke tempat yang jauh
dan tidak banyak orang? Apakah mereka akan ke gunung? Naik helikopter untuk berkeliling
kota? Chae-kyeong memang masih berusaha menghindari Shin, tapi dia tidak bisa
menolak kesempatan untuk pergi jauh dari istana yang membosankan ini.
“Apakah saya harus menyiapkan
pakaian ganti?” tanya pelayan Lee dengan semangat.
Mereka melanjutkan percakapan itu
sambil tertawa, menerka-nerka apa saja kemungkinan yang akan terjadi, membuat
Chae-kyeong merona merah dan tidak bisa membendung senyuman.
***
Ding dong. Bunyi notifikasi
pesan masuk ke ponsel.
Chae-kyeong mengusap kedua
matanya, menguap sambil mengambil ponselnya. Waktu sudah menunjukkan pukul 6
sore.
Astaga! Batin Chae-kyeong. Dia
sudah ketiduran selama itu. Langit yang tadinya cerah sudah berubah perlahan-lahan
menjadi gelap.
Dia segera berlari ke depan
cermin, merapikan rambutnya yang sedikit berantakan karena posisi tidur
sembarangan. Dia mengecek dressnya dan berupaya meluruskan kerutan-kerutan
kecil. Setelah merasa rapi kembali, dia mengecek notifikasi yang barusan masuk.
Dia pikir dia akan menemukan nama
Shin pada pesan itu, atau akan ada banyak panggilan tidak terjawab dari Shin.
Tapi tidak mungkin, jika Shin sudah kembali, para pelayan pasti akan
membangunkannya. Kekecewaan Chae-kyeong sudah berlipat ganda.
Anehnya, pesan itu berasal dari
nomor tidak dikenal. Chae-kyeong membukanya dengan bingung dan penasaran. Isinya
bukan tulisan, melainkan halaman berita yang di screenshot ke dalam beberapa
foto. Chae-kyeong terkejut. Bagaimana orang ini tahu nomor pribadinya? Bagaimana
dia tahu Chae-kyeong tidak boleh mengakses internet, dan dia mengirimkan foto supaya
Chae-kyeong bisa membacanya?
‘Eksklusif: Min Hyo-rin Dikonfirmasi
Masuk Ke Kerajaan. Apakah Akan Ada Pernikahan?
Seoul – Melalui interview
eksklusif dengan narasumber, salah satu orang terdekat Min Hyo-rin, telah
mengonfirmasi adanya tawaran dari pihak kerajaan untuk mengajak nona Min tinggal
di Istana. Nona Min dikabarkan telah menerima tawaran tersebut dan konferensi
pers akan segera dilaksanakan. Lantas apakah akan ada pernikahan dan perubahan
status terhadap nona Min?
“Saya yakin akan ada
pernikahan. Semuanya akan dijelaskan lebih lanjut pada konferensi pers.”
Sejauh ini tidak ada respon
dari pihak Putra dan Putri Mahkota. Keduanya tidak lagi terlihat memiliki
jadwal dengan publik secara bersama-sama. Putra Mahkota masih menghadiri
acara-acara yang bersifat privat dan menolak wawancara wartawan. Hal ini
menimbulkan kekhawatiran bagi publik mengenai hubungan keduanya. Muncul isu-isu
mengenai hubungan Putra dan Putri Mahkota yang sudah retak jauh sebelum skandal
ini terjadi, terutama sebelumnya telah beredar isu yang sama mengenai kedekatan
Putra Mahkota dengan nona Min.
Jika nona Min bisa memberikan
calon Putra Mahkota berikutnya, apakah ia akan diangkat sebagai Putri Mahkota
yang baru?’
Chae-kyeong hanya berdiri dalam
diam. Dia tidak melanjutkan beberapa paragraf berikutnya yang banyak mengandung
nama Hyo-rin dan spekulasi, atau lebih tepatnya dia tidak sanggup melanjutkannya.
***
Shin bergegas masuk ke dalam
mobil, mengusir sopir yang menawarkan diri untuk mengantarnya. Dia membanting
pintu sangat keras, bergegas mengendarai mobil dengan kecepatan penuh, membuat
para pengawalnya kewalahan dan lambat laun tertinggal-kehilangan jejak.
“Shin Chae-kyeong, eodiya,” gerutunya
dalam keadaan panik.
Baru beberapa menit yang lalu,
Shin menerima telepon dari pelayan istana. Chae-kyeong tidak bisa ditemukan
dimana-mana. Mereka sudah mencari Chae-kyeong keseluruh istana. Lebih masalahnya
lagi, mereka juga mendapati mobil Chae-kyeong ikut menghilang.
Chae-kyeong tidak diijinkan
membawa mobil. Bagaimana caranya dia kabur? Kemana dia pergi?
Shin merasa sangat bodoh dan
bersalah. Pasti ini karena dia ingkar janji. Chae-kyeong memang mengancam akan
pergi sendiri, tapi Shin tidak menyangka dia akan berhasil kabur dari
pengawasan para penjaga.
Beberapa menit berikutnya Shin
sudah menghubungi orang-orang terdekat Chae-kyeong. Dia membuat ayah dan ibu
Chae-kyeong sedikit panik, tapi dia buru-buru meluruskan bahwa ini bukan
masalah besar. Chae-kyeong memang sering hilang. Dia berbohong bahwa
Chae-kyeong pasti sedang bersembunyi dari guru kelasnya.
Tidak ada satu pun orang yang
dihubungi Chae-kyeong hari ini. Babo, Chae-kyeong hanya menghubungi dirinya hari
ini, dan dia tidak sempat membalasnya.
Shin mencari ke beberapa tempat di
sekitar rumah keluarga Chae-kyeong. Mengintip restoran yang pernah mereka
kunjungi dari dalam mobil, tapi mobil Chae-kyeong tidak ada. Kemana Chae-kyeong
akan pergi? Kemana dia akan pergi jika tidak bersama Shin?
Shin baru teringat. Pada malam
itu, Chae-kyeong pernah membahas tempat yang dia temukan secara tidak sengaja
ketika belajar mobil dengan pelayan-pelayannya. Chae-kyeong bercerita dengan
penuh semangat, sementara Shin dengan usil pura-pura sibuk membaca buku dan tidak
banyak berkomentar. Jika Chae-kyeong ingin pergi ke tempat yang tidak bisa
ditemukan oleh Shin, mungkin Chae-kyeong akan berpikir Shin sudah melupakan
tempat itu.
Tempat itu ada di atas bukit dan
jarang dilewati mobil, sangat cocok untuk latihan mobil anggota kerajaan yang
butuh privasi, walau terdengar agak berbahaya. Tapi jalanan disana tidak selalu
menanjak. Ada jalanan panjang yang lurus dan sedikit berbelok.
Salah satu sisi jalanan disana
punya pemandangan yang sangat menakjubkan, langsung mengarah ke kota dan dapat
melihat sungai dari kejauhan. Malam itu ternyata sedang ada festival kembang
api di pinggiran sungai, sehingga banyak lampu-lampu kecil yang menyala
bergantian, dan lampu-lampu itu telah membantu Shin menemukan posisi
Chae-kyeong.
“Aku tidak mau bertemu denganmu,
Shin,” kata Chae-kyeong berusaha terdengar datar, separuh menahan isakan yang
ingin dia sembunyikan. Chae-kyeong tahu Shin sudah berjalan mendekatinya
sekarang, tapi dia tetap berusaha tidak menengok, agar Shin tidak tahu
Chae-kyeong sedang menangis.
Shin tahu betul seperti apa suara
Chae-kyeong ketika sedang sedih, sedang menangis, sedang kecewa, dan itu
membuatnya merasa sangat bersalah. Dia memberikan mantelnya pada Chae-kyeong
dari belakang, berusaha menjaga privasi Chae-kyeong yang menolak untuk
menatapnya.
“Kamu tahu hari ini orang-orang
merayakan White Day dengan main kembang api di pinggir sungai? Kalau minggu
lalu aku dapat ijin keluar Istana, aku udah punya rencana akan piknik disini menunggu
malam dan nonton kembang api dari jauh,” kata Chae-kyeong sesekali mengusap
matanya. “Kalau aku bukan bagian dari Istana lagi, mungkin aku ada disana, gak
perlu lihat dari jauh.”
Shin memberanikan diri menggenggam
tangan Chae-kyeong sangat erat. Seakan jika lepas, dia tidak akan pernah bisa memegangnya
kembali. Dia bisa mendengar isakan Chae-kyeong tidak bisa terbendung lagi, semakin
lama semakin besar. Tubuh gadis itu menggigil. Tanpa pikir panjang, Shin menariknya
ke dalam pelukan, mengelus kepala Chae-kyeong dengan sebelah tangan.
“Maafkan aku, maafkan aku,” Shin
mengulang kata-kata itu terus-menerus hingga Chae-kyeong berhenti menangis dan bisa
mengontrol ledakan emosinya.
Chae-kyeong yang masih berada di
dalam pelukan Shin, lama-lama terdiam dan perlahan-lahan melepas dirinya.
“Shin..,” kata Chae-kyeong dengan lembut. “Uri jamsi heeojija.”
to be continued...