Author: Chloe ♥
Characters: Lee Shin, Shin Chae-kyeong, Min Hyo-rin
Kediaman Ibu Suri adalah salah satu lokasi
paling tentram yang berada di komplek istana kerajaan, sangat berbanding
terbalik dengan kediaman Putra dan Putri Mahkota yang dikenal paling berisik
oleh para dayang istana. Ibu Suri sangat menyukai bunga dan jamuan teh. Di luar
paviliun terdapat meja dan kursi taman berukir klasik, hadiah dari seseorang
yang menjabat di pemerintahan. Di sekelilingnya terdapat bunga-bunga kesukaan
Ibu Suri yang selalu ia siram di pagi hari.
Biasanya ketika sore hari menjelang, Ibu
Suri selalu bisa ditemukan bersama cangkir teh kesukaannya, duduk menikmati
indahnya taman bunga dan mendengar suara kicauan burung-burung di sekitar
istana. Namun di hari itu, sepertinya meja dan kursi taman tidak lagi menarik.
Bunga-bunga yang selalu menjadi bagian penting akhirnya tercampakan untuk
urusan yang lebih genting.
Para dayang yang biasanya menyeduhkan teh,
hari ini ditugaskan untuk berjaga di sekitaran paviliun. Tidak ada yang boleh
berada dekat dengan ruang tamu Ibu Suri, kecuali kasim penasehat dan kepala
pelayan dari anggota kerajaan yang hadir di ruangan itu. Tentu saja Ibu Suri
berada disana. Ia terlihat lelah, menggunakan hanbok berwarna redup,
ekspresinya sangat gusar.
Di ruangan itu juga hadir raja dan ratu,
beserta kakak Shin yang saat ini sedang menjabat menggantikan ayahnya yang
sakit. Rasanya setiap orang di ruangan itu sudah menua dalam beberapa hari ini.
Mereka berupaya menjadi bijaksana dalam mengambil langkah-langkah yang dirasa
benar untuk istana.
Wang Hoo Mama, Sang Ratu, meletakan sebuah
amplop dokumen kembali ke atas meja setelah meneliti isinya. “Hamba sangat
khawatir dengan kondisi Pi Koon saat ini.”
“Benar. Sepertinya membiarkannya tinggal
dekat dengan keluarganya saat ini adalah langkah yang baik. Dia pasti
membutuhkan orang-orang yang bisa menenangkannya,” kata Raja Lee Hyeon,
memandangi amplop dokumen di atas meja.
“Saat ini Shin bersama dengan Pi Koon.
Hamba sudah melarangnya, tapi sepertinya dia sangat khawatir,” kata Putri
Hwa-young.
“Bunga yang mekar harus tetap bersama
dengan lebah,” Kata Ibu Suri, nampak murung. Pembicaraan itu sempat diselingi
keheningan.
“Mama,
kita tidak bisa terus berdiam diri. Mengulur waktu tidak akan mengubah apapun.
Sementara itu, kita tidak bisa mencari informasi mengenai Nona Min Hyo-rin. Data
yang dia berikan bisa saja tidak akurat. Hamba sudah mengirim orang untuk
mengecek secara diam-diam, tapi hingga saat ini hasilnya nihil. Tidak ada yang
bisa digali mengenai hasil tes itu,” kata Putri Hwa-young dengan lembut.
“Apakah Wang Hoo memiliki pendapat?” tanya
Ibu Suri, yang menilai Wang Hoo Mama selalu bersikap bijaksana.
“Untuk saat ini kerajaan sudah berupaya
mengumpulkan informasi, tetapi tentu akan memakan waktu sampai kita bisa
menemukan bukti. Ada hal-hal yang menurut hamba terasa janggal, Mama.”
“Apa itu?” tanya Ibu Suri.
“Hamba tidak ingin menuduh siapapun, namun
sepertinya Nona Min menutupi banyak hal dengan sangat cerdas dan rapi. Tidak
banyak yang bisa kita ketahui dari latar belakangnya maupun hasil tes yang dia
berikan. Ini seperti sesuatu yang sudah direncanakan.”
“Hamba setuju. Sepertinya ia bertindak
dengan sangat hati-hati. Ia tahu bagaimana kita akan bertindak dalam hal ini,”
kata Raja Lee Hyeon.
“Untuk itu, apakah menurutmu mengawasinya
dari dalam akan lebih mudah dibanding mengawasinya dari luar?” tanya Ibu Suri,
yang semakin merasa berat dengan perbincangan itu.
“Ye,
Mama. Namun yang hamba khawatirkan adalah kondisi Pi Koon jika ia
mengetahui Nona Min akan memasuki istana,” kata Wang Hoo Mama, menundukkan
kepalanya ketika menyebut kata Pi Koon. “Jika itu memang langkah yang
disetujui, Pi Koon harus bisa mengerti.”
“Aku akan mengatakannya langsung pada Pi
Koon,” kata Ibu Suri.
“Maafkan hamba, Mama. Tapi menurut hamba orang yang harus mengatakannya adalah
putra mahkota. Peristiwa ini telah memberikan jarak, dan mereka harus bisa
kembali dengan bicara,” kata Wang Hoo Mama.
Ibu Suri mengangguk setuju. Ia menghela
nafas sebelum akhirnya bicara, “Jika memang ini langkah terbaik, kita akan
mengundang Nona Min Hyo-rin untuk tinggal di istana sampai hasil tes dna dan
bukti-buktinya kuat. Jika bukti itu benar adanya.. ini akan menjadi kali
pertama di abad ini, seorang putra mahkota memiliki selir. Apakah kita setuju?”
tanya Ibu Suri, di dalam hatinya merasa sangat bersalah.
***
Angin berhembus cukup kencang, meniupi setiap
kain yang berada di sepanjang dermaga. Laut nampak sangat biru, semakin tua
semakin jauh dipandang. Kapal-kapal memenuhi dermaga itu. Beberapa yang besar
menutupi lautan di baliknya, tetapi meninggalkan sebagian pemandangan laut yang
berhasil muncul dari celah-celah.
Di sudut itu, berdiri seorang gadis dengan
tas besar di genggamannya. Dia terlihat sangat kecil, seakan tubuhnya kesulitan
menenteng tas itu dan membuatnya harus menggenggamnya dengan dua tangan. Dia
termenung, memandangi laut. Rambutnya yang terurai, berterbangan mengikuti
angin dengan bebas.
Mungkin ini adalah pemandangan terakhir
yang akan dia nikmati di pulau itu. Angin yang berhembus ini, bunyi air, dan
pemandangan yang menenangkan, menjadi akhir yang sangat sempurna. Gadis itu
tersenyum untuk waktu yang lama, hingga akhirnya sebuah suara menyadarkannya.
“Apa maksudnya?” tanya sebuah suara, yang
baru saja sampai dan menghampiri gadis itu dari belakang.
“Kau betul-betul datang.”
Pria itu sekarang berdiri di samping si
gadis, memandangi laut biru yang sama.
“Aku akan pergi,” kata gadis itu sambil
tersenyum. “Aku.. harus pergi.”
“Istana memintamu untuk tinggal.”
Gadis itu terkejut. Dia melihat ke arah pria
di sampingnya, yang tetap memandangi laut.
“Kenapa terkejut? Bukan ini yang kau mau?”
Seketika senyum gadis itu berubah kecut.
“Apakah aku terlihat seperti pengemis? Oh, memang seperti itu. Bagi kalian aku
hanya pengemis.” Gadis itu menggenggam erat tasnya. “Aku tetap akan pergi.”
Dia mulai melangkah menjauh, tetapi
kemudian berhenti setelah tangan pria itu menahannya.
“Tinggal lah,” kata pria itu. “Aku tidak
tahu apa yang ada di dalam pikiranmu dan mengapa kau mengambil keputusan
seperti ini. Aku tidak tahu mana yang benar dan mana yang salah.”
Tiba-tiba gadis itu merasa tidak bisa
bicara. Air matanya mulai mengalir, tapi dia tidak ingin pria itu tahu. Dia
hanya diam, menunggu pria itu lanjut bicara.
“Aku telah menimbulkan banyak masalah untuk
keluarga kerajaan. Aku merasa sangat ceroboh dalam bertindak. Semakin
memikirkannya, aku semakin merasa bersalah pada Chae-kyeong. Aku tidak bisa
berhenti minta maaf. Tapi hari ini, aku sadar aku juga melukai perasaanmu. Aku
tidak tahu apakah kau berbohong atau ini memang salahku. Jika aku bersalah,
maka aku harus memperbaikinya, dan berarti aku sudah menawarkannya padamu. Ini
keputusanmu. Tentukan sendiri alurnya.” Pria itu sekarang melepas tangan si
gadis, kemudian berbalik ingin berjalan pergi. “Aku harap kau masih menjadi
Hyo-rin yang kukenal.”
To be continued..
*********************************
Annyeong, readers!
Sudah lama sekali semenjak terakhir Chloe melanjutkan cerita ini. Tidak terasa, bahkan cara menulis pun semakin berbeda. Kayaknya Chloe udah enggak seluwes dulu deh nulisnya hahaha. Banyak kata-kata yang gak dipikirkan ulang nyambung engganya. Efek semakin sibuk bekerja(?)
Maaf banget kali ini pendek sekali ceritanya, karena Chloe harus cicil di hari-hari yang sibuk ini, tapi udah ga sabar publish.
Terima kasih banyak dukungan kalian dan comment yang tentunya Chloe baca walau tidak dibalas karena bingung menjelaskan kapan akan dilanjutkannya hehehe. Berkat comment-comment, Chloe jadi semangat untuk nulis lagi. Respon di wattpad pun sangat baik, terima kasih semuanya!
Coba comment di bawah ya, pendapat kalian mengenai Chae-kyeong, apa yang sebaiknya dia lakukan setelah ini. Apakah mendukung Shin? Atau justru jauhin? Hehehe. Semua comment akan sangat berarti <3
Berlanjut ke part 9 :D