Wednesday, June 21, 2017

True Dream - Kim Shang Bum & Kim So Eun Fan Fiction (Part 5)




Writer: Chloe
Credit to Charly


True Dream


                “Kau kenal aku?”

Pria itu menampakkan wajah yang tenang. Diiringi dengan hembusan angin yang menyapu wajahnya, raut mukanya mulai berubah. Matanya tidak seindah yang So Eun ingat, dan hidungnya berubah menjadi sedikit lebih besar. Mulutnya tidak setipis yang dia tahu. Wajah Kim Bum yang tersirat pada muka pria itu sekarang berubah menjadi orang lain. Dia bukan Kim Bum. Apa yang So Eun lihat hanyalah sebuah fatamorgana, dan hal itu membuatnya kecewa.

“Ma—maafkan aku. Aku kira kau seseorang yang aku cari.”

Pria itu memandang So Eun dengan bingung. “Yang kau cari itu pria Korea lainnya, ya?”

“Apakah kau orang Korea?” tanya So Eun, kali ini dengan bahasa korea.

“Tentu saja! Memangnya aku ini tidak kelihatan seperti orang Korea?”

“Bu—bukan begitu,” So Eun membungkukkan badannya dengan kikuk. “Maaf, bisa saja kau datang dari negara lain di Asia. Aku dengar banyak—“

“Sudahlah, aku terlambat bertemu dengan client ku, dan sekarang kau menahanku disini.” Pria itu mengecek jam tangannya dan berkata, “Aku harap kau menemukannya. Good luck!

So Eun mengepalkan sebelah tangannya ketika pria itu berjalan menjauhinya. Yaampun, kenapa aku bisa bertemu dengan pria semacam itu di negara sebesar ini! Sombong sekali.

Hari itu tidak berhenti disana. So Eun kembali ke rumahnya, sebuah apartemen kecil di pinggir jalan raya, nyaman dan sedikit berdebu, tapi sangat murah. Setelah beasiswanya habis dan dia tidak mendapatkan santunan dana hidup, So Eun harus pindah dari asramanya ke tempat tinggal yang baru, kalau dia mau tetap tinggal di Amerika. Masalahnya adalah uang yang dia miliki tidak akan pernah cukup kalau dia tidak segera mencari pekerjaan. Sudah dua minggu ini tidak ada pekerjaan yang cocok untuknya, dan menjadi seorang pelukis bukanlah hal yang mudah. Dia mulai menjual lukisannya via online, karena tidak banyak harapan ada pameran yang akan merekrutnya dan melelang lukisan-lukisannya. Sebagai orang asing, cukup kecil kemungkinan untuk menjadi sangat terkenal.

So Eun tidak bisa mengelak bahwa alasan utamanya tetap tinggal adalah untuk menemukan Kim Bum yang telah hilang. Dia tahu kemungkinan itu sangatlah kecil, tapi kalau dia hanya duduk dan menunggu, Kim Bum tidak akan kembali. Walaupun Kim Bum berada di belahan negara yang lain, So Eun tidak boleh menyianyiakan kesempatan untuk bertemu lagi dengannya.

So Eun membuka pintu apartemennya, menaruh tas di gantungan dan segera merangkai bunga yang dia bawa sejak tadi. Setiap hari selalu ada bunga baru untuk vas-vas bunganya. Dia sudah punya lima vas yang selalu digantinya bergantian. Hari ini salah satu bunga di vas itu sudah layu. Dia membuangnya dan mengganti dengan bunga yang baru.

“Bunga ungu yang harum dan segar,” katanya sambil merangkai bunga-bunga itu.

Tiba-tiba ponselnya berdering. Dia menarik ponsel itu dari kantung celananya dan menyelipkan di telinganya.

“Hallo?”

Seseorang berdeham dari ujung sana. “Ms. Kim? Ini aku, Richard Monero yang tertarik dengan lukisanmu. Apakah kau bisa datang sore ini?”

“Sore ini?” So Eun berpikir sejenak. “Ya, aku akan membatalkan jadwal untuk Anda. Apakah arsiteknya datang hari ini?”

“Ya, dia sudah ada bersamaku sekarang. Kami sedang membicarakan perkembangan apartemenku, dan sepertinya dia ingin bertemu denganmu terlebih dahulu karena aku bilang sebagian besar ruang akan diisi lukisan Ms. Kim.”

“Baiklah, aku akan tiba sekitar pukul lima kalau begitu?”

“Baiklah. Terima kasih.”

***

So Eun sudah tiba di depan apartemen tinggi yang sangat modern itu. Dia mengecek sekali lagi alamat yang tertera pada sms Mr. Monero. Ternyata pria ini jauh lebih kaya dari yang dia bayangkan. Apartemen ini jelas baru selesai dibangun dan punya banyak sekali lantai. Lobby nya sangat modern dan luas. Ada pelayan yang membukakan pintu untuk tamu. Sepertinya apartemen ini memang diciptakan untuk orang-orang kaya saja. Sulit untuk menebak berapa harga yang harus dibayar untuk membeli satu unit. Kalau dibandingkan apartemen So Eun, mungkin ini dua puluh kali lipat lebih mahal.

So Eun menunggu di lobby. Dia duduk di salah satu sofa beludru yang sangat hangat, sambil membayangkan seperti apa wujud Mr. Monero yang sudah memesan begitu banyak lukisannya di internet. Apakah dia pendek dan gempal? Mungkin sudah tiga puluh kalau didengar dari suaranya. Apakah dia tampan dan berkumis tebal seperti yang ada di kartun-kartun.

Tiba-tiba suara pria yang dimaksud terdengar. “Ms. Kim?”

So Eun berpaling, dan dia menemukan seorang pria yang masih sangat muda, berdiri disana. Rambutnya coklat dan disisir menyamping, sangat rapi dan elegan. Kulitnya sangat pucat, dengan mata abu-abu keperakan, hidung yang mancung dan senyum yang sangat lebar. Dia terlihat masih berusia dua puluhan, dengan pakaian setelan jas yang agak kasual.

So Eun menerima jabatan tangan pria itu. “Senang sekali kau bisa hadir. Arsitekku menunggu di atas. Kita bisa langsung ke atas?”

Ada perasaan aneh yang menyelimuti So Eun, dan sepertinya Richard Monero menyadarinya.

“Te—tenang saja, Ms. Kim. Aku tidak akan membohongimu.” Pria itu kelihatan bingung dan panik. “Gedung ini milikku. Kau bisa bertanya pada setiap karyawan disini.”

Saat itu juga So Eun tidak bisa menahan diri untuk tidak menganga. Oke, ini adalah kali pertama So Eun bertemu dengan pria yang sangat kaya raya di Amerika. Pantas saja dia mau membeli begitu banyak lukisannya dan berkata akan bernegosiasi tentang harganya karena dia butuh bantuan sampai apartemennya selesai.

“Ja—jadi yang Anda maksud dengan apartemen bukan hanya sebuah unit saja? Ta—tapi sebesar ini?” tanya So Eun terbata-bata.

Monero tertawa dengan sopan. “Ya, aku akan menggantung lukisan-lukisanmu di beberapa tempat. Mungkin kita butuh bicara terlebih dahulu.” Pria itu duduk di salah satu sofa tunggal yang juga dilapisi beludru merah.

“Ta—tapi kenapa karyaku? Sepertinya tuan bisa membeli karya-karya mahal pelukis terkenal. Ada banyak sekali pelukis hebat dari masa ke masa, bahkan ada begitu banyak karya lain yang lebih mahal dan indah. Aku bukan pelukis sehebat itu, Sir.”

“Tunggu dulu, tunggu dulu.” Monero menyuruh pelayannya menyuguhkan dua gelas teh panas di hadapan mereka. Monero mengambil cangkirnya dan menyeruput tehnya. “Ada alasan untuk itu.

“Aku memang sedang mencari lukisan untuk mengisi dindingku yang masih kosong. Kalau kau lihat lobby ini, mungkin lobby ini sudah selesai dibuat berkat arsitekku, tapi banyak ruang yang kosong dan belum selesai.

“Suatu hari aku menemukan salah satu karyamu dan aku terpana. Aku sangat menyukai Monet, dan kau memberikan kesan Monet pada lukisan itu. Aku sangat menyukainya dan mulai mencari sumbernya. Akhirnya aku menemukan website mu dan mulai mencari lebih banyak lukisan. Apa kau tahu? Untuk apa membeli lukisan mahal jika ada tiruan yang sama bagusnya tapi dengan harga yang cukup murah. Maaf aku tidak bermaksud mengatakan lukisanmu murahan, tapi sangat untung dibanding mencari kesempatan membeli lukisan mahal yang dijaga ketat oleh pemerintah.”

So Eun memiringkan kepalanya dan berpikir. “Sepertinya aku memahami sudut pandang Anda, dan terima kasih telah memujiku, tapi karyaku tidak mungkin disandingkan dengan Monet.” Dia sekarang lebih rileks dan sudah mau mengambil cangkir lain di meja kopi itu. “Lalu bisakah Anda menceritakan siapa Anda sebenarnya, Sir? Aku merasa sangat bingung.”

“Aku? Aku hanya seorang pemilik apartemen, itu saja. Richard Monero yang tidak terkenal.”

Sekarang perasaan curiga sudah hilang dari wajah So Eun. Dia kelihatan agak senang. Jika Monero sebenarnya orang yang sangat penting, mungkin dia punya banyak informasi. Tapi apakah Monero sebegitu pentingnya sampai bisa mencari Kim Bum? Ah, pikiran gila ini muncul lagi.

“Aku sangat yakin kau akan jadi pelukis hebat, Ms. Kim. Entah kenapa aku merasakan ada aura itu di dirimu.” Monero menaruh kembali cangkirnya ke atas meja. “Bisa kau cerita tentang dirimu sebelum kita naik?”

“Aku Kim So Eun, baru saja lulus. Aku bukan pelukis ternama disini, hanya dapat beasiswa untuk kuliah. Aku memutuskan untuk tidak pulang ke Seoul dan sedang mencari pekerjaan. Aku kaget saat Tuan menelepon dan bilang akan membeli karya-karyaku. Yaa, saat ini pekerjaanku hanya menjual lukisan lewat internet. Aku tidak tahu akan selaku ini.”

“Apa tidak ada penelepon lain yang menawar lukisan itu selain aku?” tanya Monero dengan sangat penasaran.

“Ya, sebenarnya ada orang di hari yang sama menelepon untuk membeli dua dari semua yang kau pilih. Dia menelepon terlebih dahulu. Tapi akhirnya kujual semuanya pada Tuan karena Tuan membeli banyak sekali. Rasanya tidak lengkap kalau lukisan itu terpisah satu sama lain.”

“Terpisah?”

“Pria itu mau membeli lukisan anak perempuan dan anak laki-laki yang kugambar, tapi tidak mau membeli panel lukisan ketiga.”

“Oh, aku tahu yang kau maksud. Lukisan tiga panel itu?”

“Iya, aku beri judul ‘Cherry, Mint and Violet’.”

“Hmm, baiklah. Ayo kita segera ke atas.”

Monero memimpin jalan. Dia masuk ke dalam lift lebih dulu, diikuti So Eun yang terbata-bata. Ruangan yang mereka masuki terlihat seperti sebuah lorong panjang dengan jendela-jendela kaca yang menggantikan dinding. Sepertinya ada beberapa ballroom tersembunyi dibalik tirai-tirai sutra yang mengantung di balik kaca. Mereka tidak memasuki ruangan-ruangan itu, tetapi tetap berjalan lurus melewatinya dan berbelok ke kanan. Plafon semakin lama semakin meninggi, terlihat ada undakan dan ornamen-ornamen melengkung terpasang disana. Mereka memasuki sebuah pintu kayu besar dengan ornamen garis-garis lurus keemasan. Sekarang plafon sudah digantikan dengan skylight, jendela atap kaca, dan dinding-dinding marmer putih berulir kelabu menutupi setiap inci ruangan.

“Kau akan mengisi ini dengan apa?” tanya So Eun dengan sangat penasaran.

“Awalnya ini untuk fasilitas spa, tapi aku berubah pikiran melihat jendela atap kaca itu.” Monero memegang dinding marmernya. “Ruangan ini cantik sekali. Aku akan menjadikannya sebuah ruang pameran.”

Hati So Eun sekali lagi ingin menjerit. Benarkah? Jadi karyaku akan ada disini dan dinikmati oleh orang-orang? Sungguh? Apakah ini awal yang baru? Apakah benar ini takdirku untuk tetap tinggal di Amerika?

“Aku akan menaruh salah satu karyamu disini, tapi hanya yang ada unsur Koreanya saja. Sisanya akan kupilih lokasinya nanti.”

“Terima kasih banyak, Mr. Monero! Omoo, aku tidak bisa bernapas.” So Eun tersenyum sangat lebar. Dia tidak bisa menahan diri lagi, dia harus melompat untuk merayakannya. “Kau akan memajang ‘The Silent Dancer’ disini? Omoooo omoo, aku tidak menyangka akan seperti ini!”

Monero tertawa melihat reaksi So Eun. “Aku tahu kau akan senang hati datang hari ini.”

So Eun tidak bisa berhenti melompat dan tertawa. Dia sangat bahagia. Ini adalah karya pertamanya yang akan dipajang. Walau ini bukan museum ternama, tapi ini sebuah apartemen mewah dengan fasilitas lengkap, besar, mahal, dan pasti orang-orang hebat akan datang untuk melihat-lihat.

Tiba-tiba sebuah suara tak asing bicara dari belakang So Eun.

“Mr. Monero?”

So Eun berhenti. Ekspresinya tiba-tiba berubah menjadi datar.

“Ah, ini dia arsitek yang mau aku kenalkan padamu, Ms. Kim!” kata Monero dengan bersemangat.

So Eun berputar. Dia berdiri diam disana. Tidak ada kata yang keluar darinya. Suasana menjadi hening sejenak. So Eun mendapati bahwa dugaannya memang benar.


To be Continued..

*********

Terima kasih sudah selalu setia! Maaf bahasa Chloe memang beda banget sama Charly hehehe. Semoga kalian menikmati lanjutan singkat ini yaa <3 Tunggu kelanjutan ceritanya!

Tuesday, June 20, 2017

BIG NEWS

Annyeong, chingguuuu! Sudah lama tidak kembali 😂 (Baru tahu bisa pakai emoji)

This is a big news, karena akan ada hadiah spesial buat readers semua, yaitu hadiah spesial merayakan 5 tahun terbentuknya blog ini. Yeaaaaaay *backsound tepuk tangan*

Ini bukan big news tentang blog ini akan ditutup. Tidak kok hehehe jangan kaget mendengar judulnya ya. Justru Chloe mau mengucapkan terima kasih sebanyak-banyaknya karena telah bersama selama 5 tahun ini, bahkan masih ada readers yang setia menunggu selama bertahun-tahun 💓 Terima kasih sudah setia menunggu hehehe terima kasih sudah tumbuh dewasa bersama Chloe, dari Chloe masih SMP sampai akhirnya kuliah dan pusing dengan masa depan. Dari tulisan Chloe yang masih alakadarnya.. hingga lebih rapi *padahal ga jauh beda*. Well, mimpi Chloe sebagai penulis sampai sekarang belum bisa kecapaian, karena sibuk dengan bidang lain juga dan gak ada waktu untuk melanjutkan novel-novelku tercinta 😭

Terima kasih juga sekarang viewers nya sudah sampai 80k lebih! WOW! Sedikit lagi menuju 100k. Gumawoooooo 💕

Nah, untuk merayakan 5 tahun Chloe Fan Fiction Land, dan 80k viewers blog ini, Chloe punya hadiah spesial. Apakah itu? Jeng jerejeng jeng jeng..

Bukan hadiah objek atau sesuatu yang bisa dimakan sih. Mungkin tidak pantas juga disebut hadiah.


Chloe sudah memutuskan.. untuk melanjutkan "True Dream" yang dikarang oleh Charly. Berhubung Charly tidak punya waktu dan sibuk dengan dunia nyata, Chloe sudah minta ijin untuk melanjutkan True Dream dari sudut pandang Chloe. "True Dream" ini salah satu fan fiction lama yang sangat populer semenjak tahun 2012 dan rasanya sayang sekali kalau tidak dilanjutkan. Untuk mengobati rasa penasaran kalian dengan kelanjutan ceritanya, Chloe akan membuat part-part selanjutnya!




Untuk itu, cek post berikutnya untuk baca cerita lanjutan "True Dream" :D annyeong!


Love, Chloe xx

Saturday, January 14, 2017

Princess Hours Fan Fiction (Part 7)



Author: Chloe 
Characters: Lee Shin, Shin Chae-kyeong, Min Hyo-rin


Siang itu matahari tidak menampakkan wujudnya, sepenuhnya ditutupi awan yang semakin kelabu, berlalu tiap detik di angkasa. Walau perkiraan cuaca menyatakan hari tidak akan hujan, sepertinya tidak benar. Jelas hujan akan turun, dan akan membasahi setiap jalanan di kota yang besar ini, di hari yang sangat tidak menyenangkan dan sendu. Seakan hujan itu berupaya melengkapi setiap momen menyedihkan yang sedang terjadi, menuntun orang yang sakit untuk menangis, menuntun orang yang berduka untuk melepas, dan menertawakan orang yang sedang bahagia.

Rumah hook itu adalah rumah lama yang sudah ditinggali selama berpuluh tahun. Kondisinya memang tidak terlalu buruk, namun semua tetangga tahu jelas apa yang sering terjadi di dalamnya. Yang terjadi tentu jauh lebih buruk dari wujud rumahnya. Sudah berpuluh tahun setiap malam, nyonya keluarga Jung yang tinggal di depan rumah reot itu, mendengar bunyi-bunyi barang pecah yang diduganya piring atau gelas, terbanting belasan kali dalam semalam, diiringi suara gaduh dan teriakan pria. Dia tidak yakin siapa pria itu. Dia hanya tahu ada dua orang yang tinggal disana, yaitu nyonya Min dan putrinya yang cantik. Hal ini membuatnya curiga, apakah nyonya Min sering didatangi mantan suaminya? Atau itu suara kekasihnya yang menagih uang? Gosip ini kemudian menyebar ke seluruh rumah di kompleks, mengalir dari satu mulut ke mulut yang lain.

Keluarga itu tidak memiliki kerabat yang tinggal dekat, tidak banyak bersosialisasi, dan hanya terlihat sesekali. Betul-betul sepenuhnya tertutupi pagar rumah dan semak-semak yang tinggi. Apalagi setelah muncul kabar bahwa anak nyonya Min itu mengandung anak putra mahkota Lee Shin. Banyak media yang mengerubuni rumahnya, tidak luput tetangga-tetangga. Setiap hari ada saja wartawan yang menunggu di depan rumahnya, walau kian hari kian berkurang karena Hyo-rin tidak pernah menampakkan wujudnya.

Tiba-tiba terdengar suara gelas pecah.

“Apa katamuu?!” suara berat itu berasal dari laki-laki beruban yang baru saja menjatuhkan gelasnya. Mukanya merah padam, tubuhnya agak miring, terlihat jelas berupaya berdiri dengan tegap. “Wanita itu kabur dan kau tidak membangunkanku??!”

Dia seperti akan jatuh, tapi kakinya sekali lagi berhasil menyeimbangkan tubuhnya. Sekarang dia mengambil sebuah botol sake dari lantai dan hendak memukulkannya ke kepala wanita yang berdiri di hadapannya. Wanita itu tidak berhasil mengelak dengan baik. Botol itu mengenai pundaknya dan dia menjerit.

“Cepat katakan kemana dia pergi!” laki-laki itu menunggu untuk memukul lagi.

“Aku akan membayar hutang-hutang kami secepatnya, tolong jaga dirimu baik-baik.”

Gadis itu berlari mengambil sebuah tas di dalam kamarnya, kemudian buru-buru menuju pintu depan dan mengunci pintunya, meninggalkan laki-laki mabuk itu yang kemudian tak sadarkan diri. Tanpa mengecek keadaan pria itu dulu, gadis itu mengenakan maskernya dan berjalan pergi.[]


***

Umma sudah sampai?”

“Aku sedang menunggu di stasiun. Dimana kau?”

“Dalam perjalanan pulang.”
“Apa kau baik-baik saja? Maafkan aku, Hyo-rinie.”

“Tenang saja, semua akan baik-baik saja. Aku sudah hampir sampai. Kututup dulu teleponnya. Jaga dirimu, Umma.”

Seperti dugaan Hyo-rin, ada dua wartawan yang setia menunggu di depan pagar, kehujanan dan sepenuhnya basah kuyup. Mereka melihatnya dan sudah menyiapkan ponsel untuk merekam wawancara.

“Nona Min Hyo-rin, apakah Nona benar-benar akan memasuki istana?” kata wartawan pria berkaca-mata, bergetar hebat karena kedinginan.

Hyo-rin tidak mengubris pertanyaan-pertanyaan yang kemudian dilontarkan silih berganti. Dia tetap berjalan, membuka pintu pagar dan masuk ke dalam. Tak lama setelah meninggalkan wartawan-wartawan itu, dia kembali. Tapi membawa sebuah tas besar, seperti tas berpergian, dan sebuah payung. Dia mengunci pintu pagar dan berjalan pergi, berbelok di gang-gang hingga menemukan jalan raya, dan setelah itu memberhentikan taxi dan naik tanpa bicara.[]


***


“Apa aku engga boleh menginap?” tanya Chae-kyeong, duduk di depan televisi sambil memotong sayur.

“Bersyukur mereka mengijinkanmu keluar walau Shin tidak tahu. Dan sekarang kau mau mencoba menginap?” Ibu Chae-kyeong mendengus, mengaduk sopnya dengan cepat.

“Aku kan bisa coba telepon dia sekarang untuk minta ijin. Lagian dia engga bakal berani karena sedang bersalah.”

Ibu Chae-kyeong menutup pancinya dan ikut bergabung dengan Chae-kyeong dan Chae-Jun. “Kamu ini apa benar-benar tidak merasa bersalah? Kamu pergi saat dia khawatir dan bahkan belum bicara denganmu.”

“Pig ini memang bodoh, Umma. Dia tidak bisa berpikir dengan baik mana yang mungkin mana yang mustahil,” kata Chae-Jun dengan jail. Dia sedang membaca komik manhwa kesukaannya sambil berbaring di lantai.

Chae-kyeong berhenti memotong dan menghentakkan pisaunya dengan keras ke talenan. “Ya! Apa kau sudah mau mati? Apa maksudmu dengan mana yang mungkin dan mustahil??”

“Kami yang tidak tinggal dengan putra mahkota pun tahu dia tidak mungkin melakukannya. Aku tidak tahu apa perasaannya tinggal dengan wanita cemburuan sepertimu, Pig.”

“A-A-Apa katamu?!”

“Sudah, sudah. Cepat potong itu semua. Dan Chae-jun, lebih baik bantu Ibu, masih banyak yang harus dimasak.”

“Untuk apa Ibu masak banyak-banyak? Apa kalian memang sangat sayang padaku? Aku sangat terharu loh kalian menyambutku di rumah sampai seperti ini.”

“Enak saja untuk menyambutmu, Pig.”

Chae-kyeong berhenti memotong lagi. Dia berpikir dan tidak percaya. Dia membelalakan mata dan sekarang memelototi ibunya.

Wae?? Ibu tidak mungkin kan tidak memberitahunya kau ada disini.”

Chae-kyeong berdiri dan berlari ke dalam kamar. Dia langsung bersembunyi di dalam selimut. “APA YANG UMMA LAKUKAAN??! BAGAIMANA MUNGKIN KALIAN MEMBERITAHUNYA? INI SUNGGU MALAPETAKA!”[]


***


Hal itu benar-benar terjadi. Shin berdiri di depan pagar dengan kantong-kantong bingkisan. Sesuai arahannya, para pelayan langsung kembali ke mobil dan pergi setelah seseorang membukakan pagar untuknya. Orang itu adalah Chae-jun, yang tersenyum dengan hangat, sangat mengidolakan kakak iparnya itu. Dia membantu mengangkut beberapa kantong Shin.

“Wah, sudah lama sekali tidak bertemu denganmu, Hyung.”

“Senang bertemu denganmu lagi,” Shin membalas dengan senyum. “Apakah Chae-kyeong baik-baik saja seharian ini?”

“Dia bahkan tidak terlihat sakit sama sekali. Hanya saja.. setelah tahu Hyung mau datang, dia langsung mengurung diri di kamar. Dia tidak tahu kalau aku sudah memberitahumu soal pergi ke dokter sama Umma.”

“Oh, begitu. Mungkin dia benar-benar tidak ingin bertemu denganku, ya?”

“Sudahlah, Hyung, dia memang wanita seperti itu. Ayo masuk dulu. Ayah dan ibu sudah menunggu.”

Seperti kata Chae-jun, Ayah dan Ibunya menyambut Shin dengan sangat meriah. Mereka sudah menyiapkan makan malam yang sangat lengkap, ditata dengan rapi di atas meja makan pendek di depan televisi. Semuanya duduk mengelilingi meja, kecuali Chae-kyeong yang masih bergulung di dalam kamar.

“Chae-kyeong-aah, apa benar tidak mau makan?” teriak Ibu Chae-kyeong yang sedang mengambilkan nasi untuk masing-masing anggota keluarga.

“Tidak akan baik untuk bayinya,” sahut Ayah Chae-kyeong.

Shin merasa sangat bersalah dan mempertanyakan kenapa dia harus datang berkunjung. Tapi dia merasa bodoh kalau tidak menjemput Chae-kyeong, paling tidak dia harus menunjukkan perhatian pada Chae-kyeong dan keluarganya. Dengan kehadirannya pun, Chae-kyeong jadi tidak dimarahi karena keluar istana sembarangan. Pihak istana tidak akan mencurigai kaburnya Chae-kyeong dari istana. Sekarang pun, Shin merasa sangat terluka karena Chae-kyeong tidak mau bertemu dengannya. Dia sepenuhnya hilang harapan dan yakin Chae-kyeong tidak akan memihaknya lagi.

“Pig, kau akan membunuh bayimu kalau terus seperti itu.”

Kata-kata Chae-jun ini ternyata berhasil mengetuk hati Chae-kyeong. Dia bangkit walau masih dalam lilitan selimut.

“Apa yang bisa kuperbuat. Dia memang bukan ibu yang baik. Aku sangat khawatir dengan bayinya,” tambah ibu Chae-kyeong.

“Bisa-bisa tak ada bayi?” kata ayah Chae-kyeong, berkedip ke arah istrinya.

“Tentu bisa tak ada bayi. Dia kan sudah tidak makan selama sakit. Sembuh pun tidak mau makan.”

Tiba-tiba pintu kamar terbuka, dan Chae-kyeong yang acak-acakan keluar dari baliknya. Chae-kyeong menatap anggota keluarganya, dan kemudian menatap langsung Shin yang juga memandangnya. Dia tidak bicara, berjalan mendekati meja dan duduk di antara ibunya dan Chae-jun, memaksa adiknya itu bergeser mendekati Shin.

“Kupikir kau masih mau melanjutkan drama wanita yang tertindas, Pig.”

“Jaga bicaramu!” kata Chae-kyeong dengan galak. Dia merasa adiknya itu sangat usil, tapi berbeda dari keusilannya yang dulu, kata-kata Chae-jun sekarang jauh lebih dewasa dan kadang terdengar ada benarnya.

Mereka memulai acara makan itu dengan penuh tawa, walau Chae-kyeong tidak sepenuhnya tertawa. Semua berbincang seperti keluarga. Shin tidak lagi merasa canggung dengan keluarga itu. Keluarga itu seperti tempatnya terhibur dan sepenuhnya dapat melepas beban di pundaknya. Berada beberapa menit dengan keluarga ini sudah membuatnya sangat senang, tersirat dari matanya, dan Chae-kyeong memperhatikan matanya. Mereka tertawa seperti tidak ada masalah yang sedang menimpa mereka. Hanya seperti keluarga normal yang akan bertambah anggota.

“Dokter bilang kondisi kandungan Chae-kyeong sangat baik, walau dia habis sakit beberapa hari. Sepertinya dia makan sangat baik ketika sadar dan tidur untuk berhibernasi.”

Kata-kata Ibu Chae-kyeong membuat semua anggota pria di keluarga itu tertawa. Shin terlihat sangat bersemangat dan bahagia mendengar kabar itu.

“Apa sudah bisa tahu laki-laki atau perempuan?” tanya Chae-jun dengan semangat, melahap nasi di piringnya sampai habis.

“Tidak, baru sekitar tiga bulan. Sepertinya dokter tidak berani memberi tebakan karena akan sangat berpengaruh dalam silsilah kerajaan.”

“Hyung ingin laki-laki atau perempuan?” tanya Chae-jun dengan lebih semangat lagi.

Ayah Chae-kyung berdeham, memperingatkan Chae-jun bahwa pertanyaan itu sangat tidak sopan, mengingat anggota kerajaan tentu menginginkan putra yang bisa melanjutkan keturunan.
“Saat ini aku belum memikirkannya. Tapi yang manapun aku tidak akan kecewa.”

Chae-kyeong mengerutkan dahinya. Dasar Shin bodoh, kau bilang padaku ingin laki-laki. Batin Chae-kyeong.

“Kalau Pig sih pasti mau perempuan, asal jangan sama seperti kepalanya.”

Shin tertawa. “Dia memang ingin perempuan.”

Pernyataan ini membuat Ayah dan Ibu Chae-kyeong terkejut. Sepertinya anak mereka itu sudah mengalami gangguan jiwa. Dia kan dituntut untuk melahirkan putra mahkota berikutnya.

Percakapan itu terus berlanjut hingga malam menjelang, hingga akhirnya Shin memutuskan untuk menginap. Semua anggota keluarga sudah masuk ke dalam kamarnya masing-masing, begitu juga Chae-kyeong dan Shin. Kamar mereka dipenuhi hawa tidak menyenangkan. Chae-kyeong tidak bicara semenjak mereka masuk ke dalam kamar.

Tidak tahan dengan suasana itu lebih lanjut, akhirnya Shin angkat bicara.

“Aku akan tidur di bawah.”

Dia mengambil salah satu bantal Chae-kyeong dan selimut dari dalam lemari. Dia masih ingat dengan baik kamar itu ketika terakhir kali menginap. Dia menggelar selimutnya di lantai, sementara Chae-kyeong masih berdiri terpaku.

“Dokter bilang bayi ini sehat,” kata Chae-kyeong, membuat Shin mendongak ke arahnya. “Waktu dia bilang begitu, saat itu juga aku sadar ada kehidupan yang sedang aku bawa dan aku harus menjaganya.”

“Aku pasti akan menja—“

“Dan saat itu juga aku ingat padamu.” Chae-kyeong menunduk dan merengut. “Aku harap kau ada bersamaku seperti ayah normal lainnya. Tapi kupikir aku sekali lagi sudah berubah idiot.”

Shin tersenyum masam.

“Jangan membebani dirimu dengan kata-kataku barusan. Aku cuma mengikuti insting wanita mengandung.”

Shin tidak mampu bicara. Dia tidak tahu harus berkata apa. Dia tidak pandai dalam hal mengurus wanita mengandung bahkan juga tidak dalam mengurus wanita normal.

Chae-kyeong naik ke atas kasurnya, menyelimuti tubuhnya sampai ke dagu. Melihat itu Shin mematikan lampu dan juga bersiap tidur di atas selimutnya yang kusut. Beberapa menit berlalu dengan hening, walau keduanya sepenuhnya masih terjaga di atas alas tidurnya. Hingga akhirnya Chae-kyeong mengakhiri kecanggungan malam itu dengan berkata:

“Kau akan menjadi ayah, Shin.”



To be Continued...

********************************


Fluttershy - Working In Background