Saturday, March 19, 2022

Princess Hours Fan Fiction (Part 9)


 Author: Chloe 

Characters: Lee Shin, Shin Chae-kyeong, Min Hyo-rin

    “Sungguh? Istana bilang kita boleh pergi?” Chae-kyeong tersenyum sangat lebar dan melompat-lompat kegirangan. Dia melakukan tarian aneh yang sudah menjadi kebiasaannya ketika mendengar kabar baik.

    “Iya, tapi kita tidak bisa menginap. Lagipula ini hari yang penting kan bagimu,” kata Shin, membetulkan dasinya yang miring di depan cermin.

    “Apa cuma kamu yang enggak merayakan White Day?” tanya Chae-kyeong meledek. “Harusnya kan kamu udah nyiapin sesuatu untukku dari jauh-jauh hari.”

    Shin mengambil jas yang sudah disiapkan dengan sangat rapi oleh pelayannya. Dia mengenakannya dengan cepat dan nampak sangat formal. “Belakangan ini kondisinya sangat serius. Sulit untuk merencanakan kesenangan pribadi.”

    Chae-kyeong merasa agak kesal. Belakangan ini memang kondisinya tidak berangsur baik. Chae-kyeong belum mendengar keputusan istana yang berusaha ditutupi oleh Shin. Menurut Shin, dia perlu waktu untuk memberitahu Chae-kyeong yang masih terlalu emosional, padahal semua itu karena hatinya sendiri yang tidak siap.

    “Tapi kan aku udah buat rencana dan minta ijin pergi sendiri dari minggu lalu. Bahkan aku gak minta kamu ikut!” kata Chae-kyeong, melemparkan dirinya ke atas salah satu sofa di kamar Shin. Dalam hati Shin merasa kecewa, Chae-kyeong masih berusaha tidak mengikutsertakan Shin dalam agendanya. Chae-kyeong menolak ikut ke pavillion Tae-Hoo Mama untuk jamuan teh, kembali lebih dulu ke pavillion mereka setelah makan malam, pura-pura tidur lebih cepat dengan lampu menyala, juga tidak lagi menanyakan buku-buku yang tidak ia mengerti dari kelas-kelas yang baru diikuti.

    “Istana tidak akan membiarkan kamu pergi sendirian ke tempat umum yang banyak orang,” balas Shin, mengancingkan jasnya, membetulkan tali sepatu, dan akhirnya siap untuk pergi. “Tapi kamu harus tunggu aku pulang. Aku akan kembali di siang hari. Pertemuan pagi ini cukup penting, aku tidak bisa membatalkannya.”

    Chae-kyeong semakin kesal. “Jangan buat aku kecewa, Shin. Kamu gak pernah tepat waktu. Kalau hari ini kamu gak pulang, aku bakal pergi sendiri!”

    Begitu lah yang terjadi. Chae-kyeong sudah menunggu Shin dari pagi hingga siang, tidak melakukan apapun kecuali membaca salah satu buku yang dijadikan PR untuk kelas tata krama putri kerajaan. Dia sudah pindah dari kamarnya, ke kamar Shin, ke ruang tengah, ke teras, kembali ke kamarnya lagi. Sesekali dia mengirim pesan kepada Shin, hampir semuanya diakhiri dengan emoji marah dan nyala api.

    “Shin payah,” umpatnya geram.

    Para dayang membawakan makan siang ke pavillion Putra dan Putri Mahkota seperti yang diperintahkan Chae-kyeong. Makan siangnya seperti biasa terlihat sangat cantik dan mewah, tapi kali ini Chae-kyeong menyadari pilihan menunya dibuat khusus. Ada beberapa menu yang pernah disebut-sebut ingin ia cicipi.

    “Yang Mulia Putra Mahkota akan sedikit terlambat, mama. Mama diminta untuk makan lebih dulu,” kata pelayan Choi.

    “Apa dia yang minta menu-menu ini? Ah—tidak mungkin. Pasti kalian yang bantu dia karena aku sering sebut-sebut ke kalian, kan? Sungguh, Shin bodoh.”

    “Maaf, Mama. Saya tidak tahu mengenai hal itu, tapi Yang Mulia Putra Mahkota menitipkan pesan maaf karena harus membuat Pi Koon Mama menunggu.”

    Walau Chae-kyeong kecewa, dia tetap menyantap makanannya dengan gembira. Sudah lama dia ingin menyicipi Côte de bœuf dan Profiteroles yang namanya bahkan tidak bisa dia sebut dengan benar. Dia mendengar menu-menu itu dari internet.

    “Dia bahkan tidak membalas pesanku. Buat apa repot menitipkan pesan ke orang lain,” gerutu Chae-kyeong, masih dengan lahap menyantap makanannya. “Oke aku udah selesai menuhin syarat makan formal, sekarang ayo kalian harus coba juga!” (Chae-kyeong punya perjanjian dengan pelayan Choi, dia punya dua sesi makan. Sesi pertama harus mengikuti cara makan formal untuk latihan tata krama, sesi kedua dia bebas makan sesuka yang dia mau).

    Chae-kyeong menarik pelayan-pelayannya untuk duduk bersamanya. Dia menyuapi mereka bergantian dan tertawa mendengar reaksi mereka satu-persatu. Itu lah mengapa Chae-kyeong lebih suka makan di pavillion. Makan di ruang makan istana terasa sangat sepi, apalagi anggota keluarga kerajaan sangat sibuk. Biasanya hanya ada Tae-Hoo Mama, itu pun kalau dia sedang tidak lelah atau moodnya sedang baik.

    “Apa Mama sudah tahu akan pergi kemana hari ini?” tanya pelayan Lee yang paling muda di antara empat. Dia memang yang paling bisa diajak Chae-kyeong bercanda dan usil.

    Chae-kyeong menggeleng pelan. “Aku bahkan enggak tanya Shin saking senangnya bisa pergi keluar.”

    Chae-kyeong bahkan tidak sempat berpikir mereka akan kemana. Apakah Shin akan mengajaknya ke tempat yang jauh dan tidak banyak orang? Apakah mereka akan ke gunung? Naik helikopter untuk berkeliling kota? Chae-kyeong memang masih berusaha menghindari Shin, tapi dia tidak bisa menolak kesempatan untuk pergi jauh dari istana yang membosankan ini.

    “Apakah saya harus menyiapkan pakaian ganti?” tanya pelayan Lee dengan semangat.

    Mereka melanjutkan percakapan itu sambil tertawa, menerka-nerka apa saja kemungkinan yang akan terjadi, membuat Chae-kyeong merona merah dan tidak bisa membendung senyuman.

 

***  

 

    Ding dong. Bunyi notifikasi pesan masuk ke ponsel.

    Chae-kyeong mengusap kedua matanya, menguap sambil mengambil ponselnya. Waktu sudah menunjukkan pukul 6 sore.

    Astaga! Batin Chae-kyeong. Dia sudah ketiduran selama itu. Langit yang tadinya cerah sudah berubah perlahan-lahan menjadi gelap.

    Dia segera berlari ke depan cermin, merapikan rambutnya yang sedikit berantakan karena posisi tidur sembarangan. Dia mengecek dressnya dan berupaya meluruskan kerutan-kerutan kecil. Setelah merasa rapi kembali, dia mengecek notifikasi yang barusan masuk.

    Dia pikir dia akan menemukan nama Shin pada pesan itu, atau akan ada banyak panggilan tidak terjawab dari Shin. Tapi tidak mungkin, jika Shin sudah kembali, para pelayan pasti akan membangunkannya. Kekecewaan Chae-kyeong sudah berlipat ganda.

    Anehnya, pesan itu berasal dari nomor tidak dikenal. Chae-kyeong membukanya dengan bingung dan penasaran. Isinya bukan tulisan, melainkan halaman berita yang di screenshot ke dalam beberapa foto. Chae-kyeong terkejut. Bagaimana orang ini tahu nomor pribadinya? Bagaimana dia tahu Chae-kyeong tidak boleh mengakses internet, dan dia mengirimkan foto supaya Chae-kyeong bisa membacanya?


‘Eksklusif: Min Hyo-rin Dikonfirmasi Masuk Ke Kerajaan. Apakah Akan Ada Pernikahan?

Seoul – Melalui interview eksklusif dengan narasumber, salah satu orang terdekat Min Hyo-rin, telah mengonfirmasi adanya tawaran dari pihak kerajaan untuk mengajak nona Min tinggal di Istana. Nona Min dikabarkan telah menerima tawaran tersebut dan konferensi pers akan segera dilaksanakan. Lantas apakah akan ada pernikahan dan perubahan status terhadap nona Min?

“Saya yakin akan ada pernikahan. Semuanya akan dijelaskan lebih lanjut pada konferensi pers.”

Sejauh ini tidak ada respon dari pihak Putra dan Putri Mahkota. Keduanya tidak lagi terlihat memiliki jadwal dengan publik secara bersama-sama. Putra Mahkota masih menghadiri acara-acara yang bersifat privat dan menolak wawancara wartawan. Hal ini menimbulkan kekhawatiran bagi publik mengenai hubungan keduanya. Muncul isu-isu mengenai hubungan Putra dan Putri Mahkota yang sudah retak jauh sebelum skandal ini terjadi, terutama sebelumnya telah beredar isu yang sama mengenai kedekatan Putra Mahkota dengan nona Min.

Jika nona Min bisa memberikan calon Putra Mahkota berikutnya, apakah ia akan diangkat sebagai Putri Mahkota yang baru?’

 

Chae-kyeong hanya berdiri dalam diam. Dia tidak melanjutkan beberapa paragraf berikutnya yang banyak mengandung nama Hyo-rin dan spekulasi, atau lebih tepatnya dia tidak sanggup melanjutkannya.

 

***  

 

    Shin bergegas masuk ke dalam mobil, mengusir sopir yang menawarkan diri untuk mengantarnya. Dia membanting pintu sangat keras, bergegas mengendarai mobil dengan kecepatan penuh, membuat para pengawalnya kewalahan dan lambat laun tertinggal-kehilangan jejak.

    “Shin Chae-kyeong, eodiya,” gerutunya dalam keadaan panik.

    Baru beberapa menit yang lalu, Shin menerima telepon dari pelayan istana. Chae-kyeong tidak bisa ditemukan dimana-mana. Mereka sudah mencari Chae-kyeong keseluruh istana. Lebih masalahnya lagi, mereka juga mendapati mobil Chae-kyeong ikut menghilang.

    Chae-kyeong tidak diijinkan membawa mobil. Bagaimana caranya dia kabur? Kemana dia pergi?

    Shin merasa sangat bodoh dan bersalah. Pasti ini karena dia ingkar janji. Chae-kyeong memang mengancam akan pergi sendiri, tapi Shin tidak menyangka dia akan berhasil kabur dari pengawasan para penjaga.

    Beberapa menit berikutnya Shin sudah menghubungi orang-orang terdekat Chae-kyeong. Dia membuat ayah dan ibu Chae-kyeong sedikit panik, tapi dia buru-buru meluruskan bahwa ini bukan masalah besar. Chae-kyeong memang sering hilang. Dia berbohong bahwa Chae-kyeong pasti sedang bersembunyi dari guru kelasnya.

    Tidak ada satu pun orang yang dihubungi Chae-kyeong hari ini. Babo, Chae-kyeong hanya menghubungi dirinya hari ini, dan dia tidak sempat membalasnya.

    Shin mencari ke beberapa tempat di sekitar rumah keluarga Chae-kyeong. Mengintip restoran yang pernah mereka kunjungi dari dalam mobil, tapi mobil Chae-kyeong tidak ada. Kemana Chae-kyeong akan pergi? Kemana dia akan pergi jika tidak bersama Shin?

    Shin baru teringat. Pada malam itu, Chae-kyeong pernah membahas tempat yang dia temukan secara tidak sengaja ketika belajar mobil dengan pelayan-pelayannya. Chae-kyeong bercerita dengan penuh semangat, sementara Shin dengan usil pura-pura sibuk membaca buku dan tidak banyak berkomentar. Jika Chae-kyeong ingin pergi ke tempat yang tidak bisa ditemukan oleh Shin, mungkin Chae-kyeong akan berpikir Shin sudah melupakan tempat itu.

    Tempat itu ada di atas bukit dan jarang dilewati mobil, sangat cocok untuk latihan mobil anggota kerajaan yang butuh privasi, walau terdengar agak berbahaya. Tapi jalanan disana tidak selalu menanjak. Ada jalanan panjang yang lurus dan sedikit berbelok.

    Salah satu sisi jalanan disana punya pemandangan yang sangat menakjubkan, langsung mengarah ke kota dan dapat melihat sungai dari kejauhan. Malam itu ternyata sedang ada festival kembang api di pinggiran sungai, sehingga banyak lampu-lampu kecil yang menyala bergantian, dan lampu-lampu itu telah membantu Shin menemukan posisi Chae-kyeong.

    “Aku tidak mau bertemu denganmu, Shin,” kata Chae-kyeong berusaha terdengar datar, separuh menahan isakan yang ingin dia sembunyikan. Chae-kyeong tahu Shin sudah berjalan mendekatinya sekarang, tapi dia tetap berusaha tidak menengok, agar Shin tidak tahu Chae-kyeong sedang menangis.

    Shin tahu betul seperti apa suara Chae-kyeong ketika sedang sedih, sedang menangis, sedang kecewa, dan itu membuatnya merasa sangat bersalah. Dia memberikan mantelnya pada Chae-kyeong dari belakang, berusaha menjaga privasi Chae-kyeong yang menolak untuk menatapnya.

    “Kamu tahu hari ini orang-orang merayakan White Day dengan main kembang api di pinggir sungai? Kalau minggu lalu aku dapat ijin keluar Istana, aku udah punya rencana akan piknik disini menunggu malam dan nonton kembang api dari jauh,” kata Chae-kyeong sesekali mengusap matanya. “Kalau aku bukan bagian dari Istana lagi, mungkin aku ada disana, gak perlu lihat dari jauh.”

    Shin memberanikan diri menggenggam tangan Chae-kyeong sangat erat. Seakan jika lepas, dia tidak akan pernah bisa memegangnya kembali. Dia bisa mendengar isakan Chae-kyeong tidak bisa terbendung lagi, semakin lama semakin besar. Tubuh gadis itu menggigil. Tanpa pikir panjang, Shin menariknya ke dalam pelukan, mengelus kepala Chae-kyeong dengan sebelah tangan.

    “Maafkan aku, maafkan aku,” Shin mengulang kata-kata itu terus-menerus hingga Chae-kyeong berhenti menangis dan bisa mengontrol ledakan emosinya.

    Chae-kyeong yang masih berada di dalam pelukan Shin, lama-lama terdiam dan perlahan-lahan melepas dirinya.

    “Shin..,” kata Chae-kyeong dengan lembut. “Uri jamsi heeojija.”


to be continued...


*********************************

Annyeong, readers!
Terima kasih banyak atas dukungan kalian selama ini huhu terima kasih untuk comment-comment kalian, yang tentunya aku baca dan kasih aku banyak banget semangat. Maaf karena udah lamaaa banget engga ngelanjutin cerita ini. Untuk ucapan terima kasih ku pada readers semua, aku kebut tulis dan tadaaaa, akhirnya tahun ini berhasil melanjutkan part ke-9!
Semoga readers tetap semangat menunggu next part ya. Aku akan berusaha yang terbaik huhu
Rasanya pingin cepat-cepat sampai nulis ending ceritanya fufu
Kalau kalian tim pingin cepetan ending apa lanjut terus, readers? Tulis di comment ya! hehe

Berlanjut ke part 10 :D

Tuesday, March 17, 2020

Princess Hours Fan Fiction (Part 8)



Author: Chloe 
Characters: Lee Shin, Shin Chae-kyeong, Min Hyo-rin

Kediaman Ibu Suri adalah salah satu lokasi paling tentram yang berada di komplek istana kerajaan, sangat berbanding terbalik dengan kediaman Putra dan Putri Mahkota yang dikenal paling berisik oleh para dayang istana. Ibu Suri sangat menyukai bunga dan jamuan teh. Di luar paviliun terdapat meja dan kursi taman berukir klasik, hadiah dari seseorang yang menjabat di pemerintahan. Di sekelilingnya terdapat bunga-bunga kesukaan Ibu Suri yang selalu ia siram di pagi hari.

Biasanya ketika sore hari menjelang, Ibu Suri selalu bisa ditemukan bersama cangkir teh kesukaannya, duduk menikmati indahnya taman bunga dan mendengar suara kicauan burung-burung di sekitar istana. Namun di hari itu, sepertinya meja dan kursi taman tidak lagi menarik. Bunga-bunga yang selalu menjadi bagian penting akhirnya tercampakan untuk urusan yang lebih genting.

Para dayang yang biasanya menyeduhkan teh, hari ini ditugaskan untuk berjaga di sekitaran paviliun. Tidak ada yang boleh berada dekat dengan ruang tamu Ibu Suri, kecuali kasim penasehat dan kepala pelayan dari anggota kerajaan yang hadir di ruangan itu. Tentu saja Ibu Suri berada disana. Ia terlihat lelah, menggunakan hanbok berwarna redup, ekspresinya sangat gusar.

Di ruangan itu juga hadir raja dan ratu, beserta kakak Shin yang saat ini sedang menjabat menggantikan ayahnya yang sakit. Rasanya setiap orang di ruangan itu sudah menua dalam beberapa hari ini. Mereka berupaya menjadi bijaksana dalam mengambil langkah-langkah yang dirasa benar untuk istana.

Wang Hoo Mama, Sang Ratu, meletakan sebuah amplop dokumen kembali ke atas meja setelah meneliti isinya. “Hamba sangat khawatir dengan kondisi Pi Koon saat ini.”

“Benar. Sepertinya membiarkannya tinggal dekat dengan keluarganya saat ini adalah langkah yang baik. Dia pasti membutuhkan orang-orang yang bisa menenangkannya,” kata Raja Lee Hyeon, memandangi amplop dokumen di atas meja.

“Saat ini Shin bersama dengan Pi Koon. Hamba sudah melarangnya, tapi sepertinya dia sangat khawatir,” kata Putri Hwa-young.

“Bunga yang mekar harus tetap bersama dengan lebah,” Kata Ibu Suri, nampak murung. Pembicaraan itu sempat diselingi keheningan.

Mama, kita tidak bisa terus berdiam diri. Mengulur waktu tidak akan mengubah apapun. Sementara itu, kita tidak bisa mencari informasi mengenai Nona Min Hyo-rin. Data yang dia berikan bisa saja tidak akurat. Hamba sudah mengirim orang untuk mengecek secara diam-diam, tapi hingga saat ini hasilnya nihil. Tidak ada yang bisa digali mengenai hasil tes itu,” kata Putri Hwa-young dengan lembut.

“Apakah Wang Hoo memiliki pendapat?” tanya Ibu Suri, yang menilai Wang Hoo Mama selalu bersikap bijaksana.

“Untuk saat ini kerajaan sudah berupaya mengumpulkan informasi, tetapi tentu akan memakan waktu sampai kita bisa menemukan bukti. Ada hal-hal yang menurut hamba terasa janggal, Mama.”

“Apa itu?” tanya Ibu Suri.

“Hamba tidak ingin menuduh siapapun, namun sepertinya Nona Min menutupi banyak hal dengan sangat cerdas dan rapi. Tidak banyak yang bisa kita ketahui dari latar belakangnya maupun hasil tes yang dia berikan. Ini seperti sesuatu yang sudah direncanakan.”

“Hamba setuju. Sepertinya ia bertindak dengan sangat hati-hati. Ia tahu bagaimana kita akan bertindak dalam hal ini,” kata Raja Lee Hyeon.

“Untuk itu, apakah menurutmu mengawasinya dari dalam akan lebih mudah dibanding mengawasinya dari luar?” tanya Ibu Suri, yang semakin merasa berat dengan perbincangan itu.

Ye, Mama. Namun yang hamba khawatirkan adalah kondisi Pi Koon jika ia mengetahui Nona Min akan memasuki istana,” kata Wang Hoo Mama, menundukkan kepalanya ketika menyebut kata Pi Koon. “Jika itu memang langkah yang disetujui, Pi Koon harus bisa mengerti.”

“Aku akan mengatakannya langsung pada Pi Koon,” kata Ibu Suri.

“Maafkan hamba, Mama. Tapi menurut hamba orang yang harus mengatakannya adalah putra mahkota. Peristiwa ini telah memberikan jarak, dan mereka harus bisa kembali dengan bicara,” kata Wang Hoo Mama.

Ibu Suri mengangguk setuju. Ia menghela nafas sebelum akhirnya bicara, “Jika memang ini langkah terbaik, kita akan mengundang Nona Min Hyo-rin untuk tinggal di istana sampai hasil tes dna dan bukti-buktinya kuat. Jika bukti itu benar adanya.. ini akan menjadi kali pertama di abad ini, seorang putra mahkota memiliki selir. Apakah kita setuju?” tanya Ibu Suri, di dalam hatinya merasa sangat bersalah.

***

Angin berhembus cukup kencang, meniupi setiap kain yang berada di sepanjang dermaga. Laut nampak sangat biru, semakin tua semakin jauh dipandang. Kapal-kapal  memenuhi dermaga itu. Beberapa yang besar menutupi lautan di baliknya, tetapi meninggalkan sebagian pemandangan laut yang berhasil muncul dari celah-celah.

Di sudut itu, berdiri seorang gadis dengan tas besar di genggamannya. Dia terlihat sangat kecil, seakan tubuhnya kesulitan menenteng tas itu dan membuatnya harus menggenggamnya dengan dua tangan. Dia termenung, memandangi laut. Rambutnya yang terurai, berterbangan mengikuti angin dengan bebas.

Mungkin ini adalah pemandangan terakhir yang akan dia nikmati di pulau itu. Angin yang berhembus ini, bunyi air, dan pemandangan yang menenangkan, menjadi akhir yang sangat sempurna. Gadis itu tersenyum untuk waktu yang lama, hingga akhirnya sebuah suara menyadarkannya.

“Apa maksudnya?” tanya sebuah suara, yang baru saja sampai dan menghampiri gadis itu dari belakang.

“Kau betul-betul datang.”

Pria itu sekarang berdiri di samping si gadis, memandangi laut biru yang sama.

“Aku akan pergi,” kata gadis itu sambil tersenyum. “Aku.. harus pergi.”

“Istana memintamu untuk tinggal.”

Gadis itu terkejut. Dia melihat ke arah pria di sampingnya, yang tetap memandangi laut.

“Kenapa terkejut? Bukan ini yang kau mau?”

Seketika senyum gadis itu berubah kecut. “Apakah aku terlihat seperti pengemis? Oh, memang seperti itu. Bagi kalian aku hanya pengemis.” Gadis itu menggenggam erat tasnya. “Aku tetap akan pergi.”

Dia mulai melangkah menjauh, tetapi kemudian berhenti setelah tangan pria itu menahannya.

“Tinggal lah,” kata pria itu. “Aku tidak tahu apa yang ada di dalam pikiranmu dan mengapa kau mengambil keputusan seperti ini. Aku tidak tahu mana yang benar dan mana yang salah.”

Tiba-tiba gadis itu merasa tidak bisa bicara. Air matanya mulai mengalir, tapi dia tidak ingin pria itu tahu. Dia hanya diam, menunggu pria itu lanjut bicara.

“Aku telah menimbulkan banyak masalah untuk keluarga kerajaan. Aku merasa sangat ceroboh dalam bertindak. Semakin memikirkannya, aku semakin merasa bersalah pada Chae-kyeong. Aku tidak bisa berhenti minta maaf. Tapi hari ini, aku sadar aku juga melukai perasaanmu. Aku tidak tahu apakah kau berbohong atau ini memang salahku. Jika aku bersalah, maka aku harus memperbaikinya, dan berarti aku sudah menawarkannya padamu. Ini keputusanmu. Tentukan sendiri alurnya.” Pria itu sekarang melepas tangan si gadis, kemudian berbalik ingin berjalan pergi. “Aku harap kau masih menjadi Hyo-rin yang kukenal.”

To be continued..

*********************************

Annyeong, readers!
Sudah lama sekali semenjak terakhir Chloe melanjutkan cerita ini. Tidak terasa, bahkan cara menulis pun semakin berbeda. Kayaknya Chloe udah enggak seluwes dulu deh nulisnya hahaha. Banyak kata-kata yang gak dipikirkan ulang nyambung engganya. Efek semakin sibuk bekerja(?)
Maaf banget kali ini pendek sekali ceritanya, karena Chloe harus cicil di hari-hari yang sibuk ini, tapi udah ga sabar publish.
Terima kasih banyak dukungan kalian dan comment yang tentunya Chloe baca walau tidak dibalas karena bingung menjelaskan kapan akan dilanjutkannya hehehe. Berkat comment-comment, Chloe jadi semangat untuk nulis lagi. Respon di wattpad pun sangat baik, terima kasih semuanya!
Coba comment di bawah ya, pendapat kalian mengenai Chae-kyeong, apa yang sebaiknya dia lakukan setelah ini. Apakah mendukung Shin? Atau justru jauhin? Hehehe. Semua comment akan sangat berarti <3

Berlanjut ke part 9 :D

Wednesday, January 2, 2019

Kang Daniel and Kim Sejeong Fanfiction (God Couple) Video Released!

Annyeong chingudeul! Sebenarnya Chloe sudah upload video ini sejak 4 bulan yang lalu, ketika lagi suka-sukanya dengan couple yg entah darimana tership ini xD Chloe suka banget sama personality mereka berdua, hingga akhirnya terinspirasi untuk buat video ini dan lagunya pun sangat cocok (thank you BTS <3).

Apakah ini akan menjadi new fan fiction? Hmm, Chloe masih berpikir-pikir apakah akan menarik untuk buat kisah mereka berdua. Sebenarnya Chloe juga sudah ada ide sedikit-sedikit untuk buat ceritanya, tapi sepertinya harus dikembangkan lagi permasalahan dan goal ceritanya. Hmm, tunggu kelanjutan perkembangan blog Chloe ya! Walau sedikit-sedikit, semoga menjadi bukit :') annyeong! xx

Monday, February 19, 2018

Wattpad Account Opened!

Setelah sekian lama memikirkan ini, akhirnya Chloe memutuskan untuk membuka akun wattpad bagi teman-teman yang lebih suka membaca menggunakan aplikasi ini! Untuk sekarang, apa yang Chloe muat mungkin sama seperti yang sudah Chloe post di blog. Untuk kedepannya semoga Chloe bisa lebih rajin menulis lewat aplikasi ini, ya! Hehe

Chloe awalnya agak ragu bagaimana dengan respon pembaca wattpad, namun segala hal memang harus dimulai dari nol ya, hehe. Semoga aplikasi ini bisa membantu kita semua. Terima kasih karena sudah mendukung Chloe! Please follow my wattpad acc too ^^

I just published "Princess Hours Fanfiction Part 1" of my story "Princess Hours Fanfiction". https://my.w.tt/WXmdIThBFK

Love, Chloe

Monday, January 8, 2018

Pilih Tokoh Fan Fiction Berikutnya!

Tuk tuk tuk, annyeong haseyoo!

Happy new year 2018, readers :D Senang sekali bisa kembali, walau baliknya seperti setahun sekali ya :'D keke sedang sibuk sekali soalnya nih.

Nah karena Chloe sedang memasuki hari-hari libur, Chloe ingin sekali buat fan fict baru yang kalian request! Bisa jadi ini cuma cerita pendek 1 episode atau bersambung. Nah, untuk itu Chloe butuh bantuan kalian untuk comment kira-kira tokoh siapa yaa yang mau ditulis hmm. Silahkan komen lebih dari 1 couple andalan kalian! Boleh juga kalian buat judul dan alur cerita yang akan Chloe kembangkan menjadi cerita full.

Kalau kalian punya ide, kapanpun silahkan comment di post ini yaa, readers! Chloe tunggu partisipasi kalian :D annyeong!

Wednesday, June 21, 2017

True Dream - Kim Shang Bum & Kim So Eun Fan Fiction (Part 5)




Writer: Chloe
Credit to Charly


True Dream


                “Kau kenal aku?”

Pria itu menampakkan wajah yang tenang. Diiringi dengan hembusan angin yang menyapu wajahnya, raut mukanya mulai berubah. Matanya tidak seindah yang So Eun ingat, dan hidungnya berubah menjadi sedikit lebih besar. Mulutnya tidak setipis yang dia tahu. Wajah Kim Bum yang tersirat pada muka pria itu sekarang berubah menjadi orang lain. Dia bukan Kim Bum. Apa yang So Eun lihat hanyalah sebuah fatamorgana, dan hal itu membuatnya kecewa.

“Ma—maafkan aku. Aku kira kau seseorang yang aku cari.”

Pria itu memandang So Eun dengan bingung. “Yang kau cari itu pria Korea lainnya, ya?”

“Apakah kau orang Korea?” tanya So Eun, kali ini dengan bahasa korea.

“Tentu saja! Memangnya aku ini tidak kelihatan seperti orang Korea?”

“Bu—bukan begitu,” So Eun membungkukkan badannya dengan kikuk. “Maaf, bisa saja kau datang dari negara lain di Asia. Aku dengar banyak—“

“Sudahlah, aku terlambat bertemu dengan client ku, dan sekarang kau menahanku disini.” Pria itu mengecek jam tangannya dan berkata, “Aku harap kau menemukannya. Good luck!

So Eun mengepalkan sebelah tangannya ketika pria itu berjalan menjauhinya. Yaampun, kenapa aku bisa bertemu dengan pria semacam itu di negara sebesar ini! Sombong sekali.

Hari itu tidak berhenti disana. So Eun kembali ke rumahnya, sebuah apartemen kecil di pinggir jalan raya, nyaman dan sedikit berdebu, tapi sangat murah. Setelah beasiswanya habis dan dia tidak mendapatkan santunan dana hidup, So Eun harus pindah dari asramanya ke tempat tinggal yang baru, kalau dia mau tetap tinggal di Amerika. Masalahnya adalah uang yang dia miliki tidak akan pernah cukup kalau dia tidak segera mencari pekerjaan. Sudah dua minggu ini tidak ada pekerjaan yang cocok untuknya, dan menjadi seorang pelukis bukanlah hal yang mudah. Dia mulai menjual lukisannya via online, karena tidak banyak harapan ada pameran yang akan merekrutnya dan melelang lukisan-lukisannya. Sebagai orang asing, cukup kecil kemungkinan untuk menjadi sangat terkenal.

So Eun tidak bisa mengelak bahwa alasan utamanya tetap tinggal adalah untuk menemukan Kim Bum yang telah hilang. Dia tahu kemungkinan itu sangatlah kecil, tapi kalau dia hanya duduk dan menunggu, Kim Bum tidak akan kembali. Walaupun Kim Bum berada di belahan negara yang lain, So Eun tidak boleh menyianyiakan kesempatan untuk bertemu lagi dengannya.

So Eun membuka pintu apartemennya, menaruh tas di gantungan dan segera merangkai bunga yang dia bawa sejak tadi. Setiap hari selalu ada bunga baru untuk vas-vas bunganya. Dia sudah punya lima vas yang selalu digantinya bergantian. Hari ini salah satu bunga di vas itu sudah layu. Dia membuangnya dan mengganti dengan bunga yang baru.

“Bunga ungu yang harum dan segar,” katanya sambil merangkai bunga-bunga itu.

Tiba-tiba ponselnya berdering. Dia menarik ponsel itu dari kantung celananya dan menyelipkan di telinganya.

“Hallo?”

Seseorang berdeham dari ujung sana. “Ms. Kim? Ini aku, Richard Monero yang tertarik dengan lukisanmu. Apakah kau bisa datang sore ini?”

“Sore ini?” So Eun berpikir sejenak. “Ya, aku akan membatalkan jadwal untuk Anda. Apakah arsiteknya datang hari ini?”

“Ya, dia sudah ada bersamaku sekarang. Kami sedang membicarakan perkembangan apartemenku, dan sepertinya dia ingin bertemu denganmu terlebih dahulu karena aku bilang sebagian besar ruang akan diisi lukisan Ms. Kim.”

“Baiklah, aku akan tiba sekitar pukul lima kalau begitu?”

“Baiklah. Terima kasih.”

***

So Eun sudah tiba di depan apartemen tinggi yang sangat modern itu. Dia mengecek sekali lagi alamat yang tertera pada sms Mr. Monero. Ternyata pria ini jauh lebih kaya dari yang dia bayangkan. Apartemen ini jelas baru selesai dibangun dan punya banyak sekali lantai. Lobby nya sangat modern dan luas. Ada pelayan yang membukakan pintu untuk tamu. Sepertinya apartemen ini memang diciptakan untuk orang-orang kaya saja. Sulit untuk menebak berapa harga yang harus dibayar untuk membeli satu unit. Kalau dibandingkan apartemen So Eun, mungkin ini dua puluh kali lipat lebih mahal.

So Eun menunggu di lobby. Dia duduk di salah satu sofa beludru yang sangat hangat, sambil membayangkan seperti apa wujud Mr. Monero yang sudah memesan begitu banyak lukisannya di internet. Apakah dia pendek dan gempal? Mungkin sudah tiga puluh kalau didengar dari suaranya. Apakah dia tampan dan berkumis tebal seperti yang ada di kartun-kartun.

Tiba-tiba suara pria yang dimaksud terdengar. “Ms. Kim?”

So Eun berpaling, dan dia menemukan seorang pria yang masih sangat muda, berdiri disana. Rambutnya coklat dan disisir menyamping, sangat rapi dan elegan. Kulitnya sangat pucat, dengan mata abu-abu keperakan, hidung yang mancung dan senyum yang sangat lebar. Dia terlihat masih berusia dua puluhan, dengan pakaian setelan jas yang agak kasual.

So Eun menerima jabatan tangan pria itu. “Senang sekali kau bisa hadir. Arsitekku menunggu di atas. Kita bisa langsung ke atas?”

Ada perasaan aneh yang menyelimuti So Eun, dan sepertinya Richard Monero menyadarinya.

“Te—tenang saja, Ms. Kim. Aku tidak akan membohongimu.” Pria itu kelihatan bingung dan panik. “Gedung ini milikku. Kau bisa bertanya pada setiap karyawan disini.”

Saat itu juga So Eun tidak bisa menahan diri untuk tidak menganga. Oke, ini adalah kali pertama So Eun bertemu dengan pria yang sangat kaya raya di Amerika. Pantas saja dia mau membeli begitu banyak lukisannya dan berkata akan bernegosiasi tentang harganya karena dia butuh bantuan sampai apartemennya selesai.

“Ja—jadi yang Anda maksud dengan apartemen bukan hanya sebuah unit saja? Ta—tapi sebesar ini?” tanya So Eun terbata-bata.

Monero tertawa dengan sopan. “Ya, aku akan menggantung lukisan-lukisanmu di beberapa tempat. Mungkin kita butuh bicara terlebih dahulu.” Pria itu duduk di salah satu sofa tunggal yang juga dilapisi beludru merah.

“Ta—tapi kenapa karyaku? Sepertinya tuan bisa membeli karya-karya mahal pelukis terkenal. Ada banyak sekali pelukis hebat dari masa ke masa, bahkan ada begitu banyak karya lain yang lebih mahal dan indah. Aku bukan pelukis sehebat itu, Sir.”

“Tunggu dulu, tunggu dulu.” Monero menyuruh pelayannya menyuguhkan dua gelas teh panas di hadapan mereka. Monero mengambil cangkirnya dan menyeruput tehnya. “Ada alasan untuk itu.

“Aku memang sedang mencari lukisan untuk mengisi dindingku yang masih kosong. Kalau kau lihat lobby ini, mungkin lobby ini sudah selesai dibuat berkat arsitekku, tapi banyak ruang yang kosong dan belum selesai.

“Suatu hari aku menemukan salah satu karyamu dan aku terpana. Aku sangat menyukai Monet, dan kau memberikan kesan Monet pada lukisan itu. Aku sangat menyukainya dan mulai mencari sumbernya. Akhirnya aku menemukan website mu dan mulai mencari lebih banyak lukisan. Apa kau tahu? Untuk apa membeli lukisan mahal jika ada tiruan yang sama bagusnya tapi dengan harga yang cukup murah. Maaf aku tidak bermaksud mengatakan lukisanmu murahan, tapi sangat untung dibanding mencari kesempatan membeli lukisan mahal yang dijaga ketat oleh pemerintah.”

So Eun memiringkan kepalanya dan berpikir. “Sepertinya aku memahami sudut pandang Anda, dan terima kasih telah memujiku, tapi karyaku tidak mungkin disandingkan dengan Monet.” Dia sekarang lebih rileks dan sudah mau mengambil cangkir lain di meja kopi itu. “Lalu bisakah Anda menceritakan siapa Anda sebenarnya, Sir? Aku merasa sangat bingung.”

“Aku? Aku hanya seorang pemilik apartemen, itu saja. Richard Monero yang tidak terkenal.”

Sekarang perasaan curiga sudah hilang dari wajah So Eun. Dia kelihatan agak senang. Jika Monero sebenarnya orang yang sangat penting, mungkin dia punya banyak informasi. Tapi apakah Monero sebegitu pentingnya sampai bisa mencari Kim Bum? Ah, pikiran gila ini muncul lagi.

“Aku sangat yakin kau akan jadi pelukis hebat, Ms. Kim. Entah kenapa aku merasakan ada aura itu di dirimu.” Monero menaruh kembali cangkirnya ke atas meja. “Bisa kau cerita tentang dirimu sebelum kita naik?”

“Aku Kim So Eun, baru saja lulus. Aku bukan pelukis ternama disini, hanya dapat beasiswa untuk kuliah. Aku memutuskan untuk tidak pulang ke Seoul dan sedang mencari pekerjaan. Aku kaget saat Tuan menelepon dan bilang akan membeli karya-karyaku. Yaa, saat ini pekerjaanku hanya menjual lukisan lewat internet. Aku tidak tahu akan selaku ini.”

“Apa tidak ada penelepon lain yang menawar lukisan itu selain aku?” tanya Monero dengan sangat penasaran.

“Ya, sebenarnya ada orang di hari yang sama menelepon untuk membeli dua dari semua yang kau pilih. Dia menelepon terlebih dahulu. Tapi akhirnya kujual semuanya pada Tuan karena Tuan membeli banyak sekali. Rasanya tidak lengkap kalau lukisan itu terpisah satu sama lain.”

“Terpisah?”

“Pria itu mau membeli lukisan anak perempuan dan anak laki-laki yang kugambar, tapi tidak mau membeli panel lukisan ketiga.”

“Oh, aku tahu yang kau maksud. Lukisan tiga panel itu?”

“Iya, aku beri judul ‘Cherry, Mint and Violet’.”

“Hmm, baiklah. Ayo kita segera ke atas.”

Monero memimpin jalan. Dia masuk ke dalam lift lebih dulu, diikuti So Eun yang terbata-bata. Ruangan yang mereka masuki terlihat seperti sebuah lorong panjang dengan jendela-jendela kaca yang menggantikan dinding. Sepertinya ada beberapa ballroom tersembunyi dibalik tirai-tirai sutra yang mengantung di balik kaca. Mereka tidak memasuki ruangan-ruangan itu, tetapi tetap berjalan lurus melewatinya dan berbelok ke kanan. Plafon semakin lama semakin meninggi, terlihat ada undakan dan ornamen-ornamen melengkung terpasang disana. Mereka memasuki sebuah pintu kayu besar dengan ornamen garis-garis lurus keemasan. Sekarang plafon sudah digantikan dengan skylight, jendela atap kaca, dan dinding-dinding marmer putih berulir kelabu menutupi setiap inci ruangan.

“Kau akan mengisi ini dengan apa?” tanya So Eun dengan sangat penasaran.

“Awalnya ini untuk fasilitas spa, tapi aku berubah pikiran melihat jendela atap kaca itu.” Monero memegang dinding marmernya. “Ruangan ini cantik sekali. Aku akan menjadikannya sebuah ruang pameran.”

Hati So Eun sekali lagi ingin menjerit. Benarkah? Jadi karyaku akan ada disini dan dinikmati oleh orang-orang? Sungguh? Apakah ini awal yang baru? Apakah benar ini takdirku untuk tetap tinggal di Amerika?

“Aku akan menaruh salah satu karyamu disini, tapi hanya yang ada unsur Koreanya saja. Sisanya akan kupilih lokasinya nanti.”

“Terima kasih banyak, Mr. Monero! Omoo, aku tidak bisa bernapas.” So Eun tersenyum sangat lebar. Dia tidak bisa menahan diri lagi, dia harus melompat untuk merayakannya. “Kau akan memajang ‘The Silent Dancer’ disini? Omoooo omoo, aku tidak menyangka akan seperti ini!”

Monero tertawa melihat reaksi So Eun. “Aku tahu kau akan senang hati datang hari ini.”

So Eun tidak bisa berhenti melompat dan tertawa. Dia sangat bahagia. Ini adalah karya pertamanya yang akan dipajang. Walau ini bukan museum ternama, tapi ini sebuah apartemen mewah dengan fasilitas lengkap, besar, mahal, dan pasti orang-orang hebat akan datang untuk melihat-lihat.

Tiba-tiba sebuah suara tak asing bicara dari belakang So Eun.

“Mr. Monero?”

So Eun berhenti. Ekspresinya tiba-tiba berubah menjadi datar.

“Ah, ini dia arsitek yang mau aku kenalkan padamu, Ms. Kim!” kata Monero dengan bersemangat.

So Eun berputar. Dia berdiri diam disana. Tidak ada kata yang keluar darinya. Suasana menjadi hening sejenak. So Eun mendapati bahwa dugaannya memang benar.


To be Continued..

*********

Terima kasih sudah selalu setia! Maaf bahasa Chloe memang beda banget sama Charly hehehe. Semoga kalian menikmati lanjutan singkat ini yaa <3 Tunggu kelanjutan ceritanya!

Fluttershy - Working In Background